Kabur aja dulu, itu serius atau cuma lantaran kesal?

“Ajakan kabur aja dulu itu beneran nggak sih, Kam?” tanya Untung Mlenthung, teman kuliah Kamso dulu.

“Bisa bener, bisa juga cuma sebel sama pemerintah. Yang sebel muak lebih banyak. Buat cabut keluar kan butuh modal skill, duit, dan mental. Belum lagi kalo dia anak tunggal, keluarga nggak rela, misalnya ortu udah lansia, sakit-sakitan.”

“Terus kenapa Nusron Wahid bilang mereka yang mau kabur iyu nggak patriotik, Kam?”

“Biasa. Soal posisi. Dia kan di kubu penguasa.”

“Tapi Noel Ebenezer bilang kalo mau kabur, kabur ajalah, kalo perlu jangan balik lagi?”

“Sama, soal posisi dia, bagian dari penguasa.”

“Posisi? Piyé kuwi, Kam?”

“Tergantung gimana mereka ngeliat kubu fans tagar kabur aja dulu. Kalo berseberangan ya dibilang nggak cinta tanah air, jangan kembali, gitu to?”

“Ora jelas! Maksudmu piyé?”

“Inget tahun sembilan puluhan ada seniman kabur ke Eropa, dibantu YLBHI karena menghindari ditangkep atau diculik? Pak Cum, bapaknya Bowo, dulu juga di luar negeri. Eh, Bowo setelah dewasa juga ding. Apa mereka disebut nggak cinta tanah air? Terus gimana kaum yang waktu itu mendukung Mulyono tanpa reserve memandang Veronica Koman yang tetap di Ostrali?”

“Pandangan tergantung posisi di pihak siapa! Hahaha!”

“Waktu jihadis sini pada ikut ISIS, banyak yang bilang nggak usah balik. Nyatanya di Suriah mereka membuang paspor, nggak merasa jadi orang Indonesia. ISIS keok, keluarga mereka, istri dan anak-anaknya yang cuma korban petualangan ideologis kepala keluarga, pada terlunta-lunta di kamp, sebagian orang kita yang pro-Mulyono maupun pro-Bowo, atau malah golput, konsisten nolak.”

“Beda kasus to, Kam!”

“Sama aja. Soal kita melihat siapa dari posisi masing-masing. Emang sih kasus jihadis ISIS itu berat, mereka nggak merasa sebagai orang Indonesia.”

“Mahfud MD memaklumi kabur aja dulu sebagai cerminan rakyat nggak nyaman sama ketidakadilan dan lainnya yang bisa mengurangi nasionalisme. Kalo dia masih jadi menkopolkam apa bilang gitu?”

“Tanya aja langsung ke dia di X. Jawaban untuk pertanyaan hipotetis berdasarkan masa lalu itu bisa menjebak, nggak dipercayai orang, ‘Halah sekarang aja bilang gitu’.”

“Aku mau nanya dia tapi nggak punya akun X, Kam!”

“Ya ndaftar dulu. Kan nggak kenal jam buka loket? Emang kantor pemerintah yang nggak kena pangkas bujet aja ada yang suka males?”

¬ Gambar praolah: Temple & Webster