Aneh, JPO ditutup karena sering terjadi tawuran

Tawuran bisa jadi alasan keputusan apa saja, termasuk menggabungkan dua SMA dan pembakuan seragam pelajar.

▒ Lama baca 2 menit

Aneh, JPO Kalibata ditutup karena sering terjadi tawuran — Blogombal.com

Warga pengguna jembatan penyeberangan orang (JPO) di kolong jalan layang Kalibata, Jaksel, tak terima dengan penutupan fasilitas itu.

Alasan Pemerintah DKJ menutup JPO sejak awal Februari itu karena di sana sering terjadi tawuran pelajar. Aneh juga cara berpikir birokrat: bukan mencegah tawuran tetapi menutup jalan, tanpa peduli pengguna. Padahal JPO dibuat antara lain demi keselamatan pejalan kaki.

Nanti kalau tawuran tak dapat dicegah, mungkin rumah anak-anak bangor yang ketagihan tawuran itu akan diblokir. Bahwa para orangtua mereka dan kakak serta adiknya yang tak suka tawuran akan terpenjara di rumah masing-masing, keputusan itu akan ditinjau setelah masyarakat memprotes.

Tentu ide kenthir itu bisa terwujud kalau pemda punya biaya. Dalam hal menutup JPO di kolong, biayanya lebih murah daripada memblokir rumah keluarga yang anaknya mencandui tawuran.

Menyangkut tawuran di JPO Kalibata dan area lain, tak terpikirkankah fungsi satpol PP dan polisi? Satpol PP mengawasi JPO itu. Polisi sigap menangani tawuran apa pun, tak hanya pelajar, dan di mana pun. Media sosial menjadi bukti efektif pelaporan oleh warga. Tanpa menunggu jatuh korban yang menjadi viral, polisi dapat segera bertindak, sesuai perintah Kapolri. Apalagi kalau ada aplikasi pelaporan masalah kamtibmas.

Tetapi, sekali lagi, cara berpikir birokrat memang ajaib sekaligus tidak genial. Mereka selalu mencari jalan pintas yang seolah-olah cergas, hemat ongkos, dan ini yang penting: tak menambah pekerjaan padahal sudah diatur oleh pemerian tugas (job description) — kecuali, mungkin, ada uang ekstra.

Penutupan JPO ini akhirnya akan atau mungkin sedang ditinjau ulang karena warga berkeberatan (¬ Antara, Kumparan, dan Kompas.com).

Omong-omong soal tawuran pelajar, apakah pernah ada keputusan yang mulanya dianggap sebagian orang ajaib namun akhirnya diterima luas? Ada: penggabungan dua SMA negeri yang bertetangga di Jaksel, pada 1981. Karena siswa kedua sekolah itu doyan tawuran, kasus terakhir menjadi berita nasional, maka SMA 9 dan SMAN 11 kemudian digabungkan menjadi SMAN 70.

Saat itu muncul lelucon, dalam dunia pendidikan bisa terjadi 9+11=70. Kini para veteran tawuran penyebab merger sekolah sudah menjadi orangtua, mungkin sudah bercucu, dan ketika bersua bekas seteru dalam ibadah di masjid atau gereja saling bersalam dengan wajah cerah penuh welas asih.

Saya tak tahu apakah setelah SMAN 70 terjadi penggabungan sekolah lagi karena tawuran pelajar adalah kisah berjilid-jilid. Namun sejauh saya dengar belum pernah terjadi penggabungan SMA dan STM/SMK karena tawuran, apalagi jika salah satu adalah sekolah swasta atau sesama swasta namun beda yayasan.

Penggabungan SMAN 9 dan SMAN 11 di SMAN 70 di Jakarta — Blogombal.com
MERGER | Berita koran Kompas (4/10/1981) tentang penggabungan SMAN 9 dan SMAN 11 di Jakarta. ~ Wikimedia Commons

Dengan terbentuknya SMAN 70, berarti telah terhimpun 4.806 siswa, 183 guru, 75 karyawan, dan 11 eks-wakil kepala sekolah. Namun laman info bersejarah itu telah lenyap dari situs SMAN 70 Jakarta. Wikipedia Indonesia menyalinnya dari Wayback Machine, arsip 17/12/2009 yang diakses pada 21/12/2009.

Baiklah, tawuran pelajar terus terjadi. Adakah keputusan pemerintah berikutnya? Ya, yakni seragam SD hingga SMA/SMK secara nasional sejak 1983. Yakin? Nggak sih. Saya belum menemukan bukti berupa arsip berita. Namun saat itu ramai tafsir bahwa ide seragam nasional muncul untuk mencegah tawuran pelajar.

Penggabungan SMAN 9 dan SMAN 11 di SMAN 70 di Jakarta — Blogombal.com
SEJARAH | Jejak laman Riwayat SMAN 70 Jakarta di Internet Web Archives 2009, diakses 15 Februari 2025.

Agar dugaan subjektif ini tak berkembang, mungkin arsitek Andra Matin (63) dapat mengklarikasi karena perancang seragam nasional adalah ayahandanya, tokoh kepanduan Idik Sulaeman Nataatmadja (1933—2013), semasa menjabat Direktur Pembinaan Kesiswaan di Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud.

Seingat saya, saat itu ada pengandaian, jika beda sekolah namun sama seragamnya, hal itu akan mengurangi identifikasi musuh setiap sekolah. Namun sekali lagi, saya belum menemukan arsip untuk bukti kecuali saya ke Perpustakaan Kompas dan Perpustakaan Nasional. Biarlah hal itu menjadi tugas para jurnalis karena pelaku profesi satu itu mestinya akrab dengan riset pustaka, termasuk dari bahan kertas.

Apa pun alasan seragam sekolah secara nasional, nyatanya tawuran bagi sebagian sekolah tetap menjadi kegiatan ekstra di luar area sekolah dan kepala sekolah membiarkan.

Tinggalkan Balasan