Absurd. Januari lalu Munthe (50) menerima peringatan dari PN Kelas II Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jabar, untuk keluar dari bengkel dan lahannya di Desa Setiamekar, Tambun Selatan.
“Tak ada sosialisasi sebelumnya, tiba-tiba saya disuruh menyingkir dari rumah dan bengkel saya,” kata Munthe (¬ Kompas.id, 9/2/2025).
Pihak yang merasa berhak atas lahan di sana, sesuai putusan pengadilan, menawarkan jalan tengah. Munthe harus membayar Rp3.500/m² Rp3,5 juta/m² agar dirinya tak didepak dari lahannya, seluas 148 m². Karena tak mau kehilangan bengkelnya, di atas tanah dengan sertifikat hak milik (SHM), dia pun menyerah.
Hanya ada tempo sepuluh hari untuk membayar. Maka Munthe berutang ke bank. Sertifikat tanah menjadi agunan. Bengkel pun untuk sementara aman. Namun dia masih tak habis pikir, “Anehnya, kalau sertifikat saya tidak sah, kenapa bisa diagunkan ke bank?”
Munthe bersama dua kawannya, antara lain Eddy (53), membeli sebidang lahan ber-SHM seluas 827 m² pada 2015. Kemudian pemilikan lahan dipecah tiga, disahkan notaris. Eddy, salah satu pemilik lahan hasil pemecahan sertifikat, juga membuka bengkel mobil. Dalam sehari dia beroleh Rp500.000.
Seperti halnya Munthe, Eddy juga diajak kompromi oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah tempat bengkel sekaligus rumah itu berdiri. Namun dia menolak membayar. Alasannya, “Kenapa saya harus membayar di atas lahan yang sudah saya miliki?”
Dalam berita itu tersebutkan:
Namun, pada Mei 2024, aroma sengketa mulai tercium. Tiba-tiba, aparat desa membuka ruang mediasi, tetapi pihak penggugat, Mimi Jamilah, tidak hadir. Eddy mengira ketika mediasi tak terjadi, masalah pun selesai.
Nyatanya pada 18 Desember 2024 dan 15 Januari 2025 Eddy menerima surat ultimatum dari pengadilan untuk enyah karena eksekusi akan dijalankan.
Sengketa ini berawal dari gugatan Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, yang mengklaim kepemilikan lahan seluas 3,6 hektar. Lahan itu telah berganti-ganti kepemilikan sejak 1976 dan transaksi jual beli antara Djuju Saribanon Dolly dan Abdul Hamid dianggap bermasalah. Urusannya sampai pengadilan.
Akan tetapi, lahan Munthe dan Eddy, serta Sutomo (75, pemilik minimarket), begitu pun dua bidang lahan lain, bukanlah bagian dari obyek yang dipersengketakan. Ibarat kata, sebuah rumah menjadi rebutan namun tetangga sekitar harus dienyahkan, padahal mereka tak punya urusan.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid memastikan pengadilan telah salah menggusur lima rumah warga. “Pengadilan tidak melibatkan BPN Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi,” katanya.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, “Kesalahan eksekusi seperti ini jarang terjadi. Apalagi jika korbannya lebih dari satu orang. Saya curiga ini bukan kelalaian, melainkan bagian dari sebuah permainan.”
Maksud Trubus, ada pihak tertentu yang memperluas lahan sengketa dengan merenggut lahan warga yang telah tersertifikasi.
Tetapi Hakim Juru Bicara PN Cikarang, Isnandar Nasution, berkilah, proses eksekusi lahan dilakukan sesuai hukum. “Kami sifatnya hanya melaksanakan delegasi sita eksekusi. Jadi sebelumnya ada surat permohonan bantuan pelaksanaan kegiatan dimaksud dari Pengadilan Negeri Bekasi,” katanya (¬ Antara, 10/2/2025).
Saudara-saudari, itulah Indonesia. Saling lempar tanggung jawab, dengan mengorbankan rakyat, dianggap sebagai seni dalam menyelenggarakan pemerintahan. Apalagi kalau menyangkut agraria.