Tiba-tiba saat mengayunkan langkah dalam jalan-jalan sore saya merasa sandal gunung di kaki kiri kurang menempel ke telapak. Ya, salah satu talinya putus. Tepatnya: ujungnya tercabut dari tancapan. Untuk menancapkan lagi harus mengangkat lapisan sol, lalu memasukkan tali, mengelem, dan seterusnya. Namun hanya tukang yang bisa.
Lalu saya segera kembali ke rumah, berjalan agak menyeret kaki kiri. Sambil berjalan saya mengingat masa kecil. Dulu, beberapa kali ujung sepatu saya mengkap — jahitannya retas. Hanya pada akhir pekan saya bisa membawanya ke tukang sepatu, setelah minta duit ke ibu.
Saat itu saya masih kelas tiga sampai empat SD. Cewek-cewek berkomentar, “Sepatumu kayak buaya, bisa nggigit orang!”
Saya tertawa. Yang bersepatu buaya bukan hanya saya. Sepatu saya dari kulit — orang Jawa menyebutnya lulang — dan solnya dari karet mentah berwarna kuning terang. Sol karet lebih nyaman buat berjalan ketimbang sol kulit, tetapi karet mentah cepat geripis. Tukang sepatu bisa mengatasi, dengan mengganti baru.
Meski bersepatu buaya, saya harus tetap bersyukur. Teman main maupun teman sekolah, juga anak-anak yang masuk siang, banyak yang nyeker. Tetapi anak-anak dilarang guru memakai sandal plastik Nylex yang telapak luarnya bisa mencetak tanah seperti pastiles besar itu maupun mengenakan sandal spons mirip Lily. Anehnya, seingat saya, tak ada cewek nyeker, padahal adik atau kakak lelakinya bertelanjang kaki.
Kalau sepatu sudah tak tertolong, orangtua mengajak saya ke toko sepatu. Saya ingat obrolan ibu saya dan tauke toko. Kata ibu, “Sepatu sekarang kok cepat rusak ya, Oom.”
Oom Toko menanggapi, “Cah lanang memang gitu, Bu. Sepatu buat bal-balan, nendang apa saja, pulang sekolah nemu kaleng di jalan digiring pake kaki sampe rumah.” Saya merasa tersindir, terutama soal kaleng.
Kemudian saya mengenal sneakers hitam yang menutupi mata kaki. Orang bilang itu sepatu basket. Tetapi bau keringat bercampur bakteri setelah kehujanan tak sirna total, padahal sudah saya cuci lalu saya keringkan dekat kompor bersumbu. Setelah itu saya mengenal sepatu sandal mirip Bata hingga lulus SD. Seperti sepatu wong tuwèk dan wong Landa, kata teman.
2 Comments
Soal sepatu buaya, suatu hari anak saya lapor bahwa sudah seminggu itu sepatunya mangap. Saat sampai rumah selalu lupa meminta saya untuk mengelemnya.
Kemudian saya tanya apakah tidak malu pakai sepatu buaya? Jawabnya “tidak” karena ada beberapa temannya yang mengalami hal yang sama 😂
Perasaan senasib itu menguatkan kita. 😇