Saya beberapa kali ditanya, apakah ponsel murah bisa menghasilkan gambar bagus. Saya bilang bisa, sesuai kesanggupan si ponsel. Bukankah filter foto dalam ponsel berkembang pesat? Dalam fitur ponsel sudah ada filter pemulus wajah. Untuk memotret makanan pun sudah tersedia filter bawaan. Jika kita amati, lensa ponsel itu kecil banget namun dapat menghasilkan gambar layak.
Ponsel yang saya pakai ngeblog, untuk memotret dan menulis, adalah jenis yang murah: Samsung A05. Harganya sekitar Rp1,5 juta, saya terima Januari 2024, sebagai hadiah dari teman.
Dia tak tega setelah tahu saya tak dapat mencari alamatnya siang hari, di luar ruang, karena layar KW saya gelap. Dengan layar hitam pada Samsung A71, yang beli awal 2020, saya tak dapat membaca apalagi menelepon maupun menerima pesan WhatsApp darinya, sehingga dia meminjam motor untuk mencari saya di sebuah taman. Toyota Camry tak dia tugasi agar lebih mudah menemukan saya.
Tadi di kantong plastik penampung sampah dapur saya lihat kulit bawang Bombay. Nama Bombay untuk onion (Allium cepa L.) konon karena dulu, entah kapan, bawang ini dibawa oleh pedagang India dari Bombay. Oh, saya teringat Bombay Merchant Association di Jakarta, yang kemudian berganti nama Gandhi Seva Loka (¬ Sindhishaan)
Saya bukan fotografer maupun pehobi fotografi, namun saya iseng memotret kulit bawang tersebut. Seperti biasa saya manggunakan setelan otomatis, karena ini cara mensyukuri teknologi digital, dan memanfaatkan cahaya seadanya dalam ruang. Hasilnya silakan Anda bandingkan.
Terlihatlah foto pertama lebih cantik daripada gambar hasil tangkapan layar. Ya, foto pertama adalah hasil setelah saya edit sekadarnya. Memang, ketajaman gambar pada titik fokus tak dapat saya tolong. Garis vertikal tebal lamat-lamat pada tembok bagian kanan saya biarkan. Itu bayangan rangka pintu kaca di punggung saya.
Biar saja tembok sebagai latar tidak tampil bersih. Saya sering malas mengedit hal macam ini, lagi pula kurang terampil, maka saya biarkan apa adanya supaya tampak alami.
Lalu foto macam ini apa manfaatnya? Beda orang beda kepentingan. Bisa sih kita menggunakannya untuk kartu sapaan di grup WhatsApp, tinggal menambahkan teks. Tetapi apakah orang lain peduli karya kita, yang bukan berupa wajah kita maupun orang lain yang mereka kenal?
Sekali lagi beda orang beda kepentingan. Juga: beda kepuasan. Bahkan bagi orang lain di grup WhatsApp, kartu sapaan tinggal meneruskan kartu dari grup lain. Jika pun membuat kartu sendiri, gambarnya bisa dari mana saja.
Lalu inti tulisan ini apa? Keisengan setiap orang berbeda. Mungkin faktor bawaan.
4 Comments
Iseng nan kontemplatif. Melihat hal yang terlihat sederhana secara berbeda, sekaligus tasyakur atas apa yang telah Ia beri.
Ketika hendak menulis komentar, inilah yang terlintas di benak dan saya putuskan untuk langsung menuliskannya.
Terima kasih banyak untuk apresiasi ini 🙏💐
Saya pernah nyoba bikin ucapan (apa aja, termasuk qoute) pakai canva. Terus dikirim ke grup wa. Ternyata tidak memancing komentar apalagi tanya. Padahal bikinnya susah, aplikasinya bayar, hasilnya (menurut saya) bagus. Lha apa bedanya dengan bikin komentar pakai text yang ada aja deh. Kapok.
Saya hanya bikin gituan saat hari raya, foto benda, bukan orang, seperti yang saya bikin di blog. Tentu saya sadar, usia gambar di WA, dalam arti dilihat dan dibaca, cuma sekian detik dan tak terarsipkan 🙏😇