“Aneh si Anu itu, Mas. Negative speech di medsos nggak oke. Demi client dia serang pihak seberang, menyebut orang pecatan yang didudukung bajer, lalu apa lagi gitu deh,” keluh Cynthia Merah.
“Mungkin lagi menikmati posisi jadi lawyer konglomerat,” sahut Kamso.
“Maju tak gentar membela yang bayar, Mas?”
“Misalnya iya, dalam batas tertentu itu wajar. Kita kalo dibayar kan juga kerja dengan bener, profesional, nggak usah lebay ngurusin hal di luar kerjaan. Kayak kamu sebagai desainer interior kan juga gitu.”
“Karena dia orang partai yang itu? Partai yang dulu aku dukung, Mas Kam juga dukung, padahal bukan kader malah ikut promosiin. Tapi kemudian partai aneh itu balik badan demi kedudukan. Huh!”
“Nggak ada hubungannya. Soal lawyer, itu soal kualitas pribadi. Soal partai, justru kita yang aneh, soalnya cuma bermodal suka tapi nggak baca AD/ART, akhirnya bisa milih ketua umum instan. Bahkan kita nggak belajar dari kasus gimana ketua umum sebelumnya kepilih.”
“Di awal, si Anu udah bener nyoba profesional, bilang sejauh saat dia ngoceh nggak ada bukti hukum bahwa kliennya yang main pagar-pagaran. Tapi akhirnya… ya gitu deh, Mas.”
“Mungkin dia lupa, gaya komunikasi lawyer saat mengadvokasi rakyat itu beda dengan gaya lawyer saat membela konglomerat. Bela rakyat kudu pake gaya propaganda, kalo perlu keras menyengat, buat galang dukungan. Bela konglomerat kudu dingin, elegan, berkelas, kalo perlu hemat bicara kecuali kalo ditanya. Kalo kuasa hukum merangkap jubir emang jadi gitu, tapi justru aman karena posisinya sebagai pengacara, bukan orang PR korporat.”
“Emang ada rumus gitu? Hahaha! Ngarang! Ya ampun, Mas! Lawyer yang dampingi rakyat melawan penguasa dan pengusaha banyak yang dingin, keren, proporsional, Mas!”
¬ Ilustrasi dihasilkan oleh kecerdasan artifisial