Aroma cokelat, yang menguar dari secangkir kopi pagi ini, menyibak pelan kicauan burung yang lebih cerewet dari biasanya, seolah merayakan selesainya hujan semalaman hingga pukul enam pagi.
Ya, aroma cokelat. Saya seruput kopi tanpa gula ini. Rasanya sedang, tidak berat pekat namun bukan juga ringan tipis. Pas. Tidak asam. Tidak pahit. Ini kopi cap Moomin dari Swedia, terbikin oleh Bergstrands, memanfaatkan jenama komik klasik lintas generasi dari Finlandia, The Moomin. Putri saya mendapatkan oleh-oleh dari temannya.
Seri kopi yang ini memasang Snorkmaiden, salah satu karakter dalam keluarga Moomin gubahan Tove Jansson (1914—2001). Moomin telah dikemas sebagai komik, film, serial televisi dan aneka produk berlisensi, dan menjadi aset bangsa Skandinavia. Selain Snorkmaiden, ada pula edisi Snufkin beraroma hazelnut.
Swedia dan kawasan serumpun di Eropa Utara tentu tak kebun kopi. Kopi yang saya minum merupakan hasil mencampur kopi Brasil, Kolombia, Guatemala, dan Indonesia. Lalu bagaimana kopi Indonesia pada 2050, lima tahun setelah tonggak Indonesia Emas 2045? Mungkin tak ada lagi.
Kalaupun ada, kopi sangat mahal, karena perubahan iklim global akan memengaruhi produktivitas perkebunan kopi. Sila simak penerawangan Ferry Irwandi dalam kanal Malaka.