Seorang nenek menegur cucu laki-lakinya, kelas tiga SD, yang rewel minta diajak ke mal, “Paling di sana kamu nggak bisa menikmati mal selain makanan, soalnya main hape mulu.”
Keluarga tetangga si nenek tak pernah berhasil mencontohi anak-anaknya, masih remaja, untuk tidak membawa ponsel ke meja makan. Saat mengudap di resto, anak-anak juga berlauk hape. Padahal saat bersantap di resto, ayah dan bunda selalu memasukkan ponsel ke tas dan saku.
Demikianlah, orang tak dapat terlepas dari ponsel. Di luar kepentingan berteleponan, ponsel adalah komputer saku. Bisa untuk bermain gim, berbalas teks, menonton video, membaca berita, hingga memantau saham. Oh ya, satu lagi, bahkan utama: untuk memotret, termasuk swafoto. Lalu hasil jepretan harus dilihat atau malah segera dibagikan.
Di sebuah mal di Jaksel, saya melihat seorang bapak dan dua anak sambil duduk asyik memanfaatkan ponsel dan tablet. Ini hal lumrah. Kita sering melihat, bahkan mungkin melakukan. Bagi mereka mungkin hal itu membahagiakan.
Seorang kawan, setelah pensiun dari asisten khusus dewan direksi sebuah BUMN bisa lega dan bahagia karena bisa berponsel secara wajar. Sebelumnya, kata dia, “Tidur pun hapeku harus standby, Mas. Waktu olahraga pagi lalu sarapan juga.”
Dia dulu memegang tiga ponsel.
- Persoalan kewargaan digital pada anak: Tak terhindarkan teknologi informasi dan kecerdasan buatan mengisi kehidupan kita. Tantangan ortu masa kini lebih berat.