Bagaimana sih citra polisi saat ini? Jika kita merujuk hasil survei Litbang Kompas, hasilnya membaik, lalu Mabes Polri mengutipnya: citra positif polisi naik, dari 66 persen pada Agustus 2023 menjadi 71 persen pada Desember 2023, lalu 73,1 persen pada Juni 2024 (¬ Mediahub.polri.go.id)
Kasus pemerasan yang melibatkan anggota polisi menambah berbagai permasalahan yang memperburuk citra kepolisian di mata publik. #Polhuk #AdadiKompas https://t.co/KDaYr85vzn
— Kompas Data (@KompasData) February 1, 2025
Kalau merujuk kasus dua orang polisi memeras sepasang remaja Rp2,5 juta di Semarang, Jateng (¬ Sindonews), yang belum jelas duduk perkaranya itu, analisis dari respons dan reaksi warganet di media sosial belum tentu menghasilkan pendaran magnitudo yang mengesankan. Kenapa? Isunya harus bersaing dengan isu lain, antarplatform pula.
Awal mula dikira DC.
Ternyata 2 Polisi ini palak pasangan sejoli sebesar 2,5 juta di Semarang Utara.Oknum? Eh alah akehe pic.twitter.com/Nz6BLgcotk
— Info Jateng (@Jateng_Twit) February 2, 2025
Jadi, data itu penting atau tidak? Bisa ya, bisa tidak. Jika menyangkut persepsi terhadap suatu isu, misalnya pungli dan pemerasan oleh polisi, hasil yang terukur tergantung ruang waktu: di mana dan kapan. Ya, serupa jajak pendapat elektabilitas dalam pilpres dan pilgub. Ada persoalan relevansi dan aktualitas, dan juga sampel populasi responden. Untuk soal beginian biarlah para peneliti sosial yang berbicara.
Maka dalam persoalan citra polisi, saya di sini hanya dapat menghakimi secara sepihak: buruk. Bahwa polisi telah membekuk begal motor pedagang sayur, saya lupa di mana, pokoknya baru-baru ini, saya anggap itu memang tugas mereka. Harus bisa.
Polisi diduga peras pengunjung DWP 2024:
Divisi Profesi dan Pengamanan Polri memeriksa 18 polisi yang diduga memeras pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.Jumlah uang yang disita sebagai barang bukti mencapai Rp 2,5 miliar. pic.twitter.com/iYxK6ClhqD
— tempo.co (@tempodotco) December 26, 2024
Bahwa “harus bisa” ternyata terbukti lebih banyak daripada sekian kasus pemalakan, pembunuhan ilegal terhadap warga, korupsi, penggelapan, dan entah apa lagi, tetapi hal bagus tak saya hitung, berarti itu tugas kapolri untuk memulihkan citra dan kepercayaan publik. Sengaja tidak saya sebut “oknum kapolri” supaya saya tak dianggap gagal paham soal bahasa.
Mantan Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro diduga memeras bos jaringan klinik laboratorium Prodia yang anaknya tersangkut kasus pembunuhan di Jakarta Selatan. Polisi itu disebut meminta uang Rp 20 miliar untuk menghentikan penyidikan. Pemerasan itu bermula dari… pic.twitter.com/bgQq2Opxbq
— BeritaSatu (@Beritasatu) January 26, 2025
Lalu apakah penghakiman saya terhadap korps kepolisian itu adil? Tentu tidak. Namun saya khawatir, pola pikir serupa saya juga meracuni benak banyak orang, dengan maupun tanpa pengukuran melalui survei dan analisis percakapan di media sosial, misalnya X.
Upaya pemulihan citra dapat dilakukan dengan strategi komunikasi, memanfaatkan konsultan kehumasan, namun jika tanpa bukti pemecatan semua polisi pelanggar kode etik profesi dan hukum, hasilnya cuma sementara.
Pendapat saya pasti akan dibilang naif. Kalau semua polisi nggak bener itu dipecat, Polri akan kehilangan berapa persen personel, lalu bagaimana dengan pelayanan masyarakat? Berapa lama rekrutmen untuk mengganti yang dipecat, dan adakah garansi dapat personel baru nan layak?
Ada juga soal lain, kalau semua anggota yang dipecat itu banding, apalagi sampai PTUN, dan menang, apa takkan menambah masalah? Kalau misalnya, tetapi semoga tidak, terjadi mutiny bagaimana?
Udah saatnya mengeluarkan meme ini pic.twitter.com/PxxRzzNtDN
— kue putu lewat (@sekarrepmuu) February 2, 2025
- Polisi pemeras di DWP akui salah, tapi ogah sanksi berat: Kalau dalam banding sidang etik mereka dapat keringanan, masyarakat akan makin memaklumi perilaku koruptif.