Koin Rp500 dan Rp1.000 makin sulit didapatkan di kota besar karena kian banyak transaksi nirtunai. Data dari mana? Dari kesan dan kesimpulan saya. Memang, Bank Indonesia pernah memublikasikan data pembayaran nirtunai, namun bagi saya lebih menarik apa yang kita lihat dan alami.
Maka saya terkesan saat melihat koin Rp500 dalam mangkuk karet Mbak Nasi Uduk dekat rumah. Si Mbak harus juga menukarkan uang untuk kembalian.
Masalahnya, sebagian besar pembeli adalah kurir ojek yang membayar dengan e-dompet — atau kita sebut saja “dompel”, dompet elektronik, seperti surel untuk surat elektronik (e-mail, kemudian email, sama dengan lapisan pada gigi). Hanya tetangga yang membayar tunai.
Kini kita makin sulit mendapatkan uang pecahan Rp500, tentu berupa koin, karena harga dengan pecahan, misalnya Rp4.500, atau Rp9.500, makin jarang. Kalau kembalian Rp1.000, berupa uang kertas maupun logam, masih mungkin karena harga bulat Rp4.000 maupun Rp9.000. Uang kembalian Rp2.000 lebih mudah.
Para penjual lebih paham bahwa koin Rp500, bahkan Rp1.000, makin sulit. Maka Lik Jun di Sala, Jateng, punya cara untuk mencari uang receh kembalian Rp2.000 bagi kedai Mbak Lies, tetapi untuk koin dia punya cara khusus, bukan ke bank.
Pekan lalu saat saya naik angkot CH T10 dari kompleks saya ke tempat lain sejauh 1,2 kilometer, sopirnya kerepotan mencari uang kembalian Rp1.000 dari Rp5.000 yang saya bayarkan. Pulangnya juga begitu. Tempo hari pun demikian.
Tarif resmi jauh dekat sampai Lubangbuaya, Jaktim, sih Rp5.000. Kenapa saya pelit minta kembalian? Meniru penumpang lain, terutama ibu-ibu. Antipembulatan harga. Lebih penting lagi: karena butuh koin.
Pemilik kios fotokopi di kompleks saya sering kehabisan koin, dia tahu alasan orang minta kembalian berupa receh Rp500 maupun Rp1.000. “Buat Pak Ogah, kan?” tanya Uda Fotokopi.
Untuk pengamen, minimum Rp1.000. Tetapi karena pecahan segitu tak ada, maka jadilah Rp2.000 untuk pengamen ngasal yang hanya bermodalkan gumam tak jelas dan tepuk tangan sendiri. Untuk beroleh Rp7. 500 buat membeli nasi dan lauk, butuh perjuangan. Tak setiap orang mau memberikan.
Kalau untuk pengemis profesional, yang orangnya itu-itu juga? Tak usah kita beri. Mereka hanya berlakon, pura-pura papa. Eh, apakah kata papa, dalam arti kesrakat, diserap dari pauper?