Semua bidang isian pada kantong kertas wadah pesanan ini kosong. Tak ada tanda centang terterakan. Tulisan tangan juga tak ada. Tiada jejak tulis-menulis. Bukan hal pertama yang saya alami.
Kebetulan kali ini saya hanya memesan dua galon Aqua dan satu tetes mata Insto. Tentu galon tidak bisa masuk kantong. Sebelumnya, untuk pesanan barang kecil beberapa jenis, bidang isian untuk centang dan tulisan pada kantong juga kosong.
Lalu apa moral ceritanya? Pada dasarnya orang malas menulisi kertas. Apalagi pada zaman digital, ketika setruk pembayaran dan pengantaran memuat perincian barang. Tinggal tempel, selesai. Pada kantong obat dari apotek rumah sakit, semua informasi sudah tercetak di sana, dari nama dokter pembuat resep, tanggal, hingga aturan pakai (¬ lihat arsip).
Lalu tengoklah kemasan makanan dan camilan serta minuman produk UMKM. Kotak untuk isian centang juga sering kosong. Misalnya centang untuk bakpia isi kacang hijau dan cokelat. Atau minuman bergula dan tanpa gula. Mungkin mencentang satu wadah tak melelahkan, tetapi jika sampai belasan akan menjemukan.
Masih tentang obat, kantong kecil dari apotek kecil juga ada yang polos. Pegawai apotek malas menulisi apalagi jika obat tanpa resep karena tak ada urusan dengan nama pasien. Pada apotek dengan sistem yang terintegrasi, termasuk data stok dan penjualan, label kantong hanyalah output atau keluaran.
Untuk pembelian obat di apotek tertib, meskipun sudah ada resep, si pembeli tetap dicatat namanya dan nomor ponselnya, kadang berikut nama kampung atau kompleks bermukimnya.
Tentang tulis-menulis, saya teringat cerita Yanuar Nugroho dalam kanal Akbar Faizal Uncensored di YouTube saat mengurus SIM di Jogja. Petugas loket berkukuh semua bidang isian dalam formulir harus diisi lengkap.
Lalu dengan sopan Yanuar menolak, berbahasa krama inggil, dan memohon Pak Tugas untuk mencoba sarannya: memasukkan NIK Yanuar ke komputer. Klik! Byar! Semua info yang ditanyakan dalam formulir langsung muncul.
Pak Tugas takjub. Pengantre lain menghentikan pengisian formulir. Yanuar tersenyum. Namun tak dia mengatakan bahwa dirinya termasuk orang di balik konsep layanan administratif birokrasi agar waktu tak habis untuk paperwork. Kurang lebih demikian dalam bahasa saya.
6 Comments
Tadi sebelum ke supermarket, di rumah saya nulis di kertas daftar barang-barang yang akan saya beli. Sampai di supermarket, rogoh saku jin kanan-kiri, cek isi dompet, tiada kertas : ternyata kertas catatan tertinggal di rumah. 😁🙈
Untuk belanja titipan istri, bahkan kurang dari lima jenis barang, kadang saya mencatat di kertas.
Soal kertas hilang, termasuk karcis parkir, kayaknya setiap orang pernah mengalami.
Anyel, Paman. Ngoyo-ngoyo nulis di kertas (yang Paman bilang banyak orang malas/ogah), malah keri.
Tadi sebelum ke supermarket, di rumah saya nulis di kertas daftar barang-barang yang akan saya beli. Sampai di supermarket, rogoh saku jin kanan-kiri, cek isi dompet, tiada kertas : ternyata kertas catatan tertinggal di rumah.😁🙈
Semenjak adanya teknologi, tulisan tangan saya sudah tidak sebagus dan selancar dahulu. Namun, setidaknya saya usahakan untuk senantiasa menulis (secara literal, bukan maksudnya mengetik) apabila ada kesempatan.
Sama! Saya juga 😇🙈
Saya lebih dari sekali oleh bank diminta mengulangi tanda tangan karena tidak konsisten. Saya amati, tanda tangan bapak saya pada buku ketika dia muda dan setelah tua juga berbeda. Makin tua makin berkurang detailnya.