Saya terkesan akan utas dalam cuitan Azizul Farhan di X. Dia menyambut Imlek dengan membahas aktris Malaysia Tan Sri Michelle Yeoh (62). Silakan Anda simak di sana untaian keterangan ringkas tersebut.
Saya menafsir jauh, utas ini adalah bagian dari kepingan potret Malaysia sebagai nasion. Melayu adalah satu hal dan Malaysia adalah hal lain, lebih besar, yang sebagai nasion merupakan sebuah kesepakatan berlandaskan cita-cita.
“Siapa Sebenarnya Tan Sri Michelle Yeoh?”
Inilah dia anak Malaysia pertama yang berjaya merangkul Anugerah Oscar dan jadi ikon yang angkat martabat wanita Asia di persada antarabangsa!
Sempena Tahun Baru Cina, mari kita selami kisah hidup Tan Sri Michelle Yeoh! pic.twitter.com/6ujbrrr8e4
— Azizul Farhan (@AzizulFarhan2) January 26, 2025
Pilihan gambar, dari adegan film komedi laga Police Story 3: Supercop (Stanley Tong, 1992), seperti membingkai isu Muslim, Melayu, dan Cina, dalam negeri bernama Malaysia.
Negeri adalah sebuah ruang hidup bersama, adapun negara dalam tafsir saya adalah organisasi kekuasaan untuk mengelola negeri berbasis nasion. Maka di blog ini saya sering menyebut negeri, bukan negara, karena kita memiliki Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Luar Negeri.
Dalam konteks bahasan tertentu, negeri lebih dekat ke country. Negara lebih melekat ke state. Tentu negeri punya landasan hukum, antara lain batas geografis, dan pengakuan internasional, terutama dari jiran pengitar wilayah.
Soal lain yang menarik dari utas warga Malaysia tersebut adalah bahasa. Ya, bahasa Melayu. Tampak tertata. Namun meskipun tertib dalam penuturan belum tentu kita langsung paham. Bahasa Melayu Malaysia dan Indonesia memang berbeda.
Dulu, abad lalu, saya kadang membaca buletin bulanan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia di perpustakaan kantor. Mas Pustakawan mengomentari saya, “Cuma kamu yang baca itu.”
Tak lancar saya membaca buletin itu, kadang agak tertatih-tatih, apalagi di perpustakaan tak ada kamus Melayu Malaysia dan saat itu belum ada internet. Namun saya berani mendaku dapat mencernanya. Itu suatu hal yang tak saya dapatkan dari media di perpustakaan kantor: The Economist, International Herald Tribune, The Guardian, Time, Newsweek, US News & World Report, The Asian Wall Street Journal, South China Morning Post, apalagi Le Monde, Paris Match, dan Privé. Oh ya, silakan tertawa: teleks dari Reuters dan Associated Press.
Kini zaman lebih enak dalam mengonsumsi media berita. Peramban Chrome dalam ponsel saya dapat menerjemahkan konten bahasa asing. Memang sih tak selalu pas. Namun saat Israel mulai menggasak Gaza dan melakukan genosida, saya dapat membaca media berbahasa Ibrani dan Arab.
Kembali ke bahasa Melayu, kadang secara iseng saya membaca koran daring Malaysia dan Singapura. Nama medianya sama: Berita Harian. Ada rasa berbeda dalam penjelajahan bahasa serumpun.
Misalnya pun tak paham suatu kata, kadang saya menyempatkan diri membuka laman Pusat Rujukan Persuratan Melayu (PRPM) milik Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Sebelum mengenal beberapa buku Lat, dan sampel majalah Gila-Gila (majalah Mad gaya Malaysia), bahasa Malaysia yang saya kenal jauh hari sebelumnya, saat remaja, adalah Alkitab Perjanjian Baru versi Malaysia: Kabar Baik untuk Orang Moden.
Ya, moden, bukan modern, karena Malaysia merujuk pelafalan bahasa Inggris menurut lidah lokal untuk menjadi tulisan; sedangkan kita merujuk bahasa Belanda dan Inggris. Maka kita menyebut kasus, mereka bilang kes. Untuk sepeda motor, mereka katakan itu motosikal, kendaraan beroda dua yang dijalankan dengan enjin. Kalau sepeda? Basikal.
Teman saya mengomentari keisengan saya dalam jelajah bahasa sebagai cari masalah, dhemen répot. Baginya, bahasa media berita yang baik itu ikut bahasa media sosial, bukan sebaliknya.