Dalam era media sosial, sebuah ranah setiap orang bebas menyampaikan opininya, kadang saya iseng membaca surat pembaca koran. Dalam hal ini Kompas. Kita tahu, surat pembaca bisa dibaca khalayak karena redaksi menerbitkannya. Hal itu berbeda dari celoteh di blog, forum, X, Facebook, dan lainnya.
Kali ini surat pembaca tentang sastra. Dari sisi topik tidak baru. Semua orang sudah tahu ketika terkabarkan Aveus Har, yang karyanya, Istri Sempurna, dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2023 pada Desember 2024.
Bagi saya surat pembaca itu menarik, berisi apresiasi dan terima kasih kepada redaksi. Lho, bukannya hal itu lumrah, sama lumrahnya dengan koreksi dan kritik terhadap konten sebuah koran? Ya. Namun kasus ini bagi saya istimewa. Pembaca menghargai rubrik sastra Kompas, bukan berita dan artikelnya — termasuk berupa koreksi dan kritik terhadapnya.
Cerpen Istri Sempurna memang menarik, dan lebih menarik lagi sosok si cerpenis: penjual mi ayam di Pekalongan, Jateng. Artinya bukan seperti umumnya pengarang yang berprofesi wartawan, guru, pekerja seni, dan seterusnya.
Penggalan diskripsi tentang istri:
Pertama kali kami bertemu di hari perkawinan, istriku berkata bahwa dia sudah menunggu saat ini sejak hari penciptaannya. Aku tertawa menanggapi dan berkata kepadanya bahwa aku laki-laki yang membosankan. Tidak masalah, katanya, aku perempuan yang tahan kebosanan.
Aku percaya; dia pasti berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah kudekati dengan gemetaran dan yang meninggalkanku tanpa pernah berhasil kuajak berkencan dan semenjak itu aku tidak lagi ingin pacaran.
Pada bagian lain:
Aku tidak pernah bermain perempuan karena—seperti yang kukatakan pada istriku saat perkawinan kami itu—bahwa aku laki-laki yang menyebalkan, yang bahkan seorang pekerja seks komersial pun tidak tahan.
Kemudian:
Hanya butuh waktu sehari semalam bersama istriku, aku sudah menjadi laki-laki yang berbeda keesokan harinya. Di lorong apartemen, di jalanan, di kantor, di kantin, selalu saja aku bertemu orang yang mengatakan bahwa aku tampak berbeda.
”Kau lebih banyak tersenyum sekarang.”
”Kau lebih bersikap terbuka.”
”Kau lebih ceria.”
Aku tahu mereka bersungguh-sungguh. Namun, aku akan menceraikan istriku sekarang, dan itu membuatku tidak baik-baik saja.
Lalu:
Ya, kamar tidur sempit yang penuh sampah dan semalam semakin porak-poranda oleh pertarungan birahi, sekarang bersih tertata dengan seprei baru merah muda dan dinding berlapis kertas tembok bermotif taman bunga dan istriku mengenakan lingerie putih transparan duduk di tengah-tengah kasur busa. Dia tersenyum dan mengerling.
”Jika kau ingin kita bercinta lebih dulu, aku telah siap,” katanya. ”Jika ingin makan lebih dulu, makan malam telah siap.”
Sebagai seorang analis data, solilokui sang suami bergumam dalam catatan:
Selama tiga tahun perkawinan, setidaknya 1.080 kali percintaan telah kami lakukan— itu hitungan kasar yang tidak menyertakan babak tambahan. Aku akan kehilangan semua itu, aku tahu.
Kembali ke cerpen, dan juga puisi, berapa banyak koran yang masih terbit menyediakan ruang untuk karya para penulis sastra? Lalu, dari sekian banyak media berita daring, yang tak kenal batas halaman, berapakah yang memiliki ruang sastra?
Kompas punya ciri kuat: ilustrasi cerpen dikerjakan oleh perupa luar. Tradisi ini dimulai saat Bre Redana alias Don Sabdono memegang Kompas Minggu (2001—2012).
Sebetulnya tak adil jika dalam urusan sastra koran hanya Kompas yang memimpin. Tak adil karena semua media berita, cetak maupun daring, juga dapat melakukannya. Seolah-olah koran Palmerah itu menjadi patokan tunggal, padahal media daring bisa dibaca secara nasional dan mondial. Atau justru itu adil karena tak ada larangan bagi media lain untuk bersastra-sastra?
Kompas, sejauh saya dengar, juga paling tinggi memberikan honorarium kepada cerpenis. Lebih dari itu koran yang terbit sejak 1965 atas permintaan Bung Karno, dan sang presiden itu pula yang memberi nama, selalu membukukan cerpen pilihan saban tahun.
Kadang saya tak rela, kenapa hanya Kompas yang demikian. Tak hanya soal cerpen tetapi juga jurnalisme data dan foto jurnalistik. Media yang punya pewarta foto terbanyak tampaknya Kompas. Anda rela kalau koran itu tak punya penanding selain agensi Antara Foto?
F.X. Rudy Gunawan, eks wartawan Jakarta Jakarta, membuat buku Zarima: Kumpulan Cerpen (Bukan) Pilihan Kompas pada awal 2000-an, diterbitkan oleh Gagas Media, tempat dia juga sebagai ko-pendiri. Pada 2021 buku diterbitkan ulang dengan judul sama, oleh Warning Books.
Bre Redana, dalam blognya menulis “Cerpen Bukan Kompas” (2021) sambil memberi latar bagaimana redaksi Kompas menyeleksi cerpen. Saat bersua Rudy, Bre mengenang, “Dengan berseloroh saya berkata, ibarat resi Durna, saya tahu kekuatan Arjuna. Rudy adalah Arjuna, ksatria yang akan jadi besar karena penolakan.”
Sedangkan Seno Gumira Ajidarma, pernah bersejawat dengan Rudy, dalam buku tersebut menulis:
Ada suatu pusat pengakuan yang disebut Kompas, dan keterpusatannya ingin dihancurkan. Kompas boleh tetap menjaga standarnya, tapi yang lain juga standar. Dengan demikian, menurut pendapat FX Rudy Gunawan, kebudayaan berkembang. Makna keberadaan cerpen-cerpen Rudy ini akan ditentukan oleh Anda, Pembaca yang Budiman, yang akan menghidupkan cerpen-cerpen ini sejauh kapasitas Anda mampu melakukannya.
Lalu soal lain, apakah saya seorang penikmat sastra yang tekun, karena tumben kali ini membahas cerpen? Maaf, tidak.
4 Comments
Kompas Minggu masih jadi semacam Oase.
Pada umumnya koran cetak, edisi Minggu memang khusus, lebih lunak isinya, dihadapi oleh tim khusus. Di Indonesia dan luar negeri begitu. The Sunday Times Magazine adalah contoh yang bagus.
Setelah banyak koran cetak mati, sejumlah koran daring di Indonesia tampil biasa pada edisi Minggu. Isinya breaking news melulu.
Dulu koran Minggu bagus selain Kompas adalah Republik, Media Indonesia, dan Koran Tempo.
iya, selain langganan Kompas, maka hari minggu waktunya belanja edisi Minggu koran lain.
masih inget pas Republika mulai membundling edisi Minggu ke edisi Sabtu-nya. tapi tetap tak bisa membuatnya bertahan.
btw, kenaikan Kompas Cetak dari 2018 ke 2024 ini luar biasa. 2018 itu 90ribuan sebulan.
Saya dulu kalo Minggu beli sekian koran, termasuk Republika, loper sudah hafal.
Kenaikan harga Kompas mmg terlalu. Bisa buat beli buku dan lainnya.