Gerobak ubi rebus, selera anak, dan lupakanlah wartawan

Tanpa niat menghasilkan karya jurnalistik, warganet melaporkan aneka hal dalam video di medsos.

▒ Lama baca 2 menit

Penjual camkaw rebusan mendorong gerobak di Pasar Kecapi, Jatiwarna, Kobek — Blogombal.com

Aha! Saat kancilan begini saya manfaatkan untuk memeriksa draf di Jetpack dalam ponsel. Banyak yang isinya judul saja dan foto. Saya tadi menyiangi draf ponsel, belum semuanya. Ada satu yang saya selamatkan, dari jepretan dan draf 23 September 2024 sore.

Isinya? Ini. Penjual camilan rebusan — atau kukusan? — di dekat Pasar Kecapi, Jatiwarna, Kobek, Jabar. Si penjual mulanya saya lihat di seberang jalan sedang melayani pembeli. Setelah saya dapat menyeberangi jalan, dia sudah berlalu. Karena jalan agak menanjak, dia mendorong gerobak dengan bergegas.

Baru kali itu saya melihat penjaja makanan rebusan dengan gerobak di area saya dalam radius satu setengah kilometer. Berapa harga setiap jualannya saya tidak tahu karena tak membeli. Saya membayangkan misalnya tiga potong ubi rebus — saya sebut potong, bukan buah, karena sudah dipotong — seharga Rp5.000, apakah anak-anak kecil akan tertarik?

Hanya dengan mengamati bagaimana penjual melayani pembeli, lalu mewawancarai penjual dan pembeli, pertanyaan apakah anak kecil tertarik jajanan rebusan akan terjawab. Tetapi, ah… itu pekerjaan wartawan.

Apa? Wartawan? Di media sosial, misalnya TikTok, ada saja pelaku jurnalisme warga menampilkan video penjual makanan, menanyai penjual disertai narasi apa dan siapa penjual. Gitu kan, gaes?

Maka lupakanlah wartawan, apalagi yang belagu dan hanya bisa mencomot konten medsos dari warganet yang tak berpretensi menghasilkan karya jurnalistik. Rekaman keseharian dalam kehidupan masyarakat sudah diambil oleh masyarakat sendiri.

Lihat saja sejumlah media berita daring. Jika menyangkut ekonomi, mereka cepat sekali bicara makro. Tetapi unsur minat insani, karena ada drama, disertai foto, jarang muncul. Padahal jika bicara fotografi, setiap ponsel bisa memotret up close and personal. Maka, ya itu tadi, warganet menggeser mitos wartawan sebagai saksi zaman.

Jika ada konten menarik di media sosial, misalnya video tentang penjual, tugas wartawan adalah — nah, inilah istilah yang saya sukai — mengamplifikasi konten. Judul yang gampang mengandung kata “yang viral”. Isi berita bisa merupakan tindak lanjut, dengan memeriksa ke lapangan, namun bisa saja asal angkut, lebih murah tidak lelah.

Lalu foto tentang gerobak penganan rebusan dan cerita yang sedang Anda baca ini? Jelas kalah jauh, amat jauh, tak sampai sehitam kuku, dari video pendek di TikTok tentang penjual nasi uduk di sebuah tempat, guys eh gaes.

Kenapa? Saya tidak punya bahan untuk menceritakannya selayaknya liputan. Orang boleh meledek TikTok yang tak seintelek X, tetapi di TikTok juga banyak konten orisinal yang bagus.

Aneka jajanan rebusan dan kukusan di Tokopedia — Blogombal.com

Kemudian tentang selera anak tadi? Saya tak tahu, dengan uang Rp5.000 anak-anak akan memilih rebusan ataukah makanan awetan produk pabrik di warung. Misalnya orangtua memesan dari lokapasar apakah anak-anak mau?

Media berita mestinya dapat mengangkat hal itu — dengan maupun tanpa data prevalensi diabetes melitus nasional dan global. Eh, memang masih ada camilan layak seharga Rp5.000? Ada. Wafer cuma sebatang.

2 Comments

mpokb Rabu 15 Januari 2025 ~ 21.58 Reply

Keponakan saya kurang suka bahkan seperti tidak berminat mencicipi camilan rebusan. Kalau gorengan, baru deh maju..

Pemilik Blog Rabu 15 Januari 2025 ~ 23.47 Reply

Baru tadi pagi kami membahas itu, saat saya menikmati singkong rebus hangat.
Banyak orangtua heran anaknya gak doyan buah lokal macam sawo, salak, manggis.

Putri teman saya jadi eksportir manggis

Tinggalkan Balasan