Januari pembuka tahun 2025 sudah merambat hingga ke tengah bulan, namun berita gelaran seni rupa belum ramai.
Maka sekawanan burung yang masing-masing hinggap di pucuk patok bambu di atas laut pun memanggil-manggil setiap sampan, kemarilah, dan nikmatilah karya seni komunal hasil swadaya nelayan. Tanpa kurator. Tanpa publisis. Setiap keindahan pasti akan diwartakan oleh angin.
Kami, nelayan dari Jaringan Rakyat Pantura, bergotong royong tanpa terhuyung-huyung, padahal kas dapur melompong, karena tangkapan berkurang, namun tetap berkukuh membangun pagar laut. Baru tercapai 30,16 kilometer. Baru tercapai sekian. Bukan hanya Christo yang atas nama seni bisa membuat karya gigantis.
Jangan tanya soal biaya. Demi seni, yang takkan dijadwalkan oleh biennale di darat sana, bahan baku itu soal sepele. Jika Kompas menulis harga bambu, anyaman, dan waring, untuk pagar laut senilai Rp4,7 miliar, oh itu pasti salah hitung. Biaya bahan lebih dari itu.
Belum lagi sewa alat berat, yang diangkut dengan tongkang, untuk menancapkan setiap batang bambu ke dasar perairan dangkal, sejauh 1—2 kilometer dari pantai. Lalu upah tukang Rp60.000 per meter, ehm pasti itu bocoran dari warung tempat mereka ngebon sebelum terima bayaran. Lalu Kompas menaksir sejauh ini setidaknya pagar laut telah menghabiskan biaya Rp6,5 miliar.
Terlalu menggampangkan angka dalam menghitung adalah ciri khas kalangan yang tak paham manajemen proyek. Ongkos angkut bahan dengan truk ke pantai tak dihitung. Biaya keamanan malah diabaikan.
SY (45), warga Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, tentu tak paham urusan, sehingga mengatakan, “Kami tidak bisa berbuat banyak karena kami kira pembangunan ini sudah berizin.”
Apalagi Soeharto (48), penjual bambu di sekitar Pulau Cangkir. Tahu apa dia tentang seni, sehingga mengatakan, truk yang mengangkut bambu tersebut melewati satu-satunya jalan akses desa. Lalu dia naif berkomentar, “Di pinggir jalan akses itu ada banyak kantor aparat. Jadi, sangat tidak mungkin mereka (aparat) tidak tahu.”
Instalasi seni. Seni instalasi. Untuk kiwari. Belum tuntas pagar tertancap hingga cakrawala sudah banyak yang menentang. Termasuk nelayan yang mengaku perolehan harian dari ikan dan udang tangkapan yang biasanya 12 kilogram menyusut menjadi separuhnya.
Sudah begitu karena sampan harus memutar menghindari pagar laut, lalu dikabarkan pengeluaran bahan bakar motor bisa menjadi dua kali lipat.
¬ Foto dan sumber mereka-reka cerita dari laporan Kompas.id: “Bahan Baku Pembuatan Pagar Laut Ditaksir Mencapai Rp 5 Miliar”
3 Comments
Buat menahan abrasi katanya.. Entah ide dari mana 😵
Ehm. Swadaya miliaran demi menahan abrasi, tapi menghalangi nelayan mencari ikan. Sjamj istri di Pantura menanam mangrove bertahun-tahun untuk menahan abrasi tanpa ada yang menyuruh.
Nah itu dia, ketahuan asal jawab saja 😵