Membaca judul “Berasak-asak demi Kupat Pituah” di Kompas hari ini (Minggu 12/1/2025), saya pun segera mencari artinya. Saya tak malu mengakui bahwa perbendaharaan kata saya miskin. Untung ada KBBI. Berasak-asak berarti berdesakan.
Maka saya pun teringat perbincangan dengan seorang kawan, tahun lalu di sebuah kantor, di Bekasi. Baginya, gaya penulisan Kompas dan majalah Tempo itu kenes: enak indah dibaca namun kadang mengundang kerut kening. Kompas menggunakan kata “walakin”, Tempo memasang kata “persamuhan”.
Dia juga menganggap kenes kalimat jurnalistik semacam ini: “Tuti, yang telah empat kali menikah, yang terakhir dengan pria yang usianya separuh dirinya, anu anu anu…”
Alasannya, selain kenes, kalimat itu bertele-tele, melelahkan. Maka saya pun bertanya, “Jadi sebaiknya stakato, patah-patah? Kayak anak SD belajar nulis: Budi pergi ke pasar. Di sana dia bertemu Amir. Lalu mereka mencuri jeruk?”
Teman saya tertawa, “Nggak senaif itulah.”
“Oh seperti gaya Dahlan Iskan? Atau gaya Wendo di Monitor dulu?” saya bertanya.
“Bener.”
Anda salah jika menyangka dia malas membaca. Sejak kuliah dia kutu buku hingga hari ini. Beraneka buku, termasuk buku sastra dan filsafat. Baginya, bahasa media berita harus simpel, menganggap semua orang bukan sarjana.
Oh, bukan sarjana. Dia mengucapkannya sambil mengedipkan mata. Saya selalu berasumsi orang tamat S1 pasti punya kehirauan terhadap bahasa. Kalau bersua kata tak lazim, mereka akan mencari artinya. Memahami anak kalimat dalam sebuah kalimat utuh pun, asalkan terususun dengan rapi, dan tak menimbulkan wayuh arti, pasti dirinya sebagai sarjana takkan terantuk bahasa.
Tentu saya tetap setuju bahwa bahasa media merujuk siapa pembaca yang disasar. Namun dalam kesempatan lain, seorang editor mengatakan kepada saya, tinggalkanlah asumsi orang tamatan S1 dapat berbahasa layak. Mengapa dimikian, tak perlu dibahas.
Bagi dia lebih utama bagaimana sebuah laporan atau artikel mendatangkan trafik. Media memperkaya khazanah kebahasaan pembaca itu paradigma lawas, era cetak.
Kawan lain sependapat. Antara asumsi tentang pembaca dan hasil analisis data itu tak bertindihan. Ibarat media menyasar pembaca berliterasi layak, namun dalam kenyataan hanya dibaca kalangan dari level di bawah pengandaian.
Saya menyimpulkan, “Yang di atas nggak kesentuh, yang di bawahnya kapok membaca. Hasilnya trafik jeblok.” Kami tertawa bersama.
Teman saya yang itu seorang aktivis teater di kala belia, ikut kelompok diskusi, padat pengetahuan sastra dan filsafat, kadang melagukan puisi karyanya, pernah ikut membidani media daring yang sukses, akhirnya sempat menjadi editor penerbit buku laris yang menyasar kaum muda.
Lalu saya bertanya mengapa banyak orang lancar berbahasa Inggris namun saat bertutur dalam bahasa Indonesia, apalagi tertulis, kadang kurang menarik?
Dia malah balik bertanya, “Menurut Mas Tyo kenapa?
Meskipun bahasa Inggris saya amat parah, secara sok tahu saya katakan, gramatika bahasa Inggris lisan dan tulisan tak berselisih jauh. Alur logikanya jelas. Sedangkan bahasa Indonesia tidak demikian. Padahal media sosial cenderung menggunakan gaya tuturan lisan. Dan sebagian media berita merujuk bahasa media sosial.
- Media dan bahasa yang ramah pembaca: Dalam hal apa media mengikuti cara berbahasa pembaca, dan dalam soal bagaimana media mengarahkan pembaca? Ini persoalan klasik.
4 Comments
Anggap saja maksudnya baik, Bang Paman. Supaya pembaca terpancing mencari tahu artinya di KBBI 😃
Hidup Mbak Mpok! 👍👏🌞
Terima kasih udah dapat arti kata-kata itu. Reaksi pertama baca judul itu: apakah penulisnya orang Minang? Gitu kemarin pagi.
Kembali kasih, Mas Dodo.
Sebenarnya bahasa Indonesia masih terus berproses membentuk diri.
Soal latar penulis laporan itu, saya belum tahu.