Bukan karena tak dapat tidur, pun bukan lantaran sedang sakit sehingga menatap layar ponsel dan tablet pun tak kuat, demikian pula terhadap kertas bacaan, sehingga aku hanya rebahan. Tetapi itu aku jalani dengan perasaan datar. Ada sisi baiknya: mataku beristirahat.
Padahal itu bukan dalam perjalanan naik mobil maupun kereta api dan pesawat, melainkan dalam kamar tidur. Sendirian.
Dalam perjalanan naik bus atau kereta api, biasanya aku melihat dunia di luar jendela. Atau untuk melamun, kemudian tertidur. Dalam perjalanan menumpang mobil pribadi maupun taksi aku kesulitan memakai ponsel karena yang aku pegang bergetar. Pengecualian berlaku untuk mobil tertentu yang tenang dan melintas di jalan tol.
Sebenarnya kesendirian di kamar itu bermula dari terpaksa, ada keterjebakan karena tiba-tiba datang sepasang suami istri ingin menemui istriku. Aku hanya menyambut mereka. Selebihnya aku mandi sore, lalu bablas ke kamar. Tanpa sempat membawa ponsel, tablet, atau buku. Selama dua setengah jam.
Yang aku lakukan adalah membiarkan pikiran mengembara, serupa kaki yang melangkah ke mana pun suara hati membisiki. Dalam kelana benak, ada titik singgah lamunan yang membuatku merenung: jangan-jangan hal macam ini, kini, adalah kemewahan saat orang sulit melepaskan diri dari ponsel, televisi biasa, televisi berlangganan, dan mungkin buku. Terlalu sering aku melihat orang sendirian, atau memang menyendiri, sambil memainkan ponsel. Ada juga yang membaca buku kertas, termasuk di kedai kopi.
Aku sebut kemewahan karena, sekali lagi, bukan dalam perjalanan melainkan kamar tidur punyaku sendiri. Juga bukan dalam ruang tunggu klinik dan bank. Pun terlebih-lebih bukan dalam sel penjara.
Oh, bui. Ngeri aku membayangkan orang dalam sel isolasi. Sendirian. Tanpa ponsel. Mungkin tanpa buku. Tanpa catatan. Tak mengenal jam maupun perbedaan waktu kecuali mendengar suara azan sayup-sayup, terlepas dari dirinya salat lima tahun waktu atau tidak. Oh ya, apakah dalam sel isolasi boleh mengenakan jam tangan?
Dalam lamunan tadi, aku hanya ingat masa yang amat lampau, di sebuah desa. Tentang sebuah rumah gedek, berlantai tanah, tanpa listrik, tanpa radio, tanpa bacaan, malam hari hanya ada pelita.
Pada malam wayah sepi wong, masih terdengar suara pria berkidung dengan suara jelas, tak parau, tanpa suara keras, karena aku lewat di depan rumahnya, tepatnya halaman rumahnya, untuk memintas jarak dengan berbekal sentolop sambil berharap tak bersua ular, maka kudengar entah gambuh entah maskumambang karena aku tak dapat membedakan tembang.
Aku tak tahu dia sendirian ataukah di rumah itu ada istri dan anak atau malah cucunya.
Saat itu yang aku pikirkan serupa tadi. Apa yang ada dalam kesadaran dirinya saat ura-ura macapat ditemani teplok dalam malam sepi di sebuah dusun yang hanya memiliki televisi berdaya aki di rumah menantu Pak Lurah?
¬ Foto: Unsplash
2 Comments
Agak kaget melihat gambar bantal, setengah khawatir pemilik blog ini gerah.
Syukurlah ternyata bukan :)
Mboten, Mas Sandal.
Suwun kagem kawigatosanipun. 🙏