“Cari apa, Kak? Bisa dibantu?” tanya salah satu dari dua pramuniaga toserba itu, likuran tahun silam.
Saya menghentikan celingak-celinguk dan langkah, lalu menjawab, “Cari istri, Mbak.”
Mereka tertawa. Mungkin jawaban saya dianggap lucu. Padahal saya memang sedang mencari istri saya karena kami mendatangi sebuah mal tak bersamaan. Lebih penting lagi, saya tidak mengatakan, “Cari calon istri”.
Hari ini tatkala melihat rubrik Fotografi Kompas.id, saya temukan laporan dari acara Golek Garwo di aula Kantor Kecamatan Sewon, Bantul, DIY. Garwa, kata dalam bahasa Jawa yang dilafalkan garwo, adalah krama inggil untuk bojo — bisa suami, bisa istri.
Nama acara untuk taaruf, atau perkenalan, itu menurut saya berani, karena terang-terangan menyebut mencari garwa, tanpa atribut “calon”. Tentu yang dimaksudkan oleh panitia bukanlah suami orang maupun istri orang.
Saya tak tahu apakah di luar gedung ada spanduk Golek Garwo. Misalnya ada, memang akan mempermudah penemuan lokasi. Tetapi jika peserta diantarkan ojek, taksi, atau didrop teman, mungkin akan malu juga.
Apa tadi, malu? Lebih dari seorang yang pernah ikut acara perjodohan mengatakan tak perlu malu. Dalam acara macam itu yang datang adalah orang yang sama-sama butuh pasangan hidup, bukan pacar.
Tentu ada juga yang malu, tak tega terhadap diri sendiri. Masa sih sampai segitunya berjuang, terutama bagi cewek. Namun itu soal selera. Malu-malu tapi mau ada pada diri setiap orang, hanya berbeda gaya dan bidang ke-malu-an.
Mengapa ada orang mudah beroleh suami atau istri, bahkan punya masa lalu gonta-ganti pacar? Akan banyak jawabannya. Yang pasti, menetapkan calon suami atau istri tak sesimpel sekadar pacaran.
Saya pernah mengobservasi acara macam itu sebagai partisipan. Amatan yang saya dapat, dari lebih satu acara, adalah perempuan lebih banyak dari pria, dan komunikasi antara dua orang beda kelamin tidak bebas karena yang lain nguping.
Saya ingat, dalam bus tur biro jodoh ke Sukabumi, sebelum era ponsel, ketika saya dan perempuan di sebelah saya ngobrol, dua perempuan di kursi depan langsung menengok ke kami, kemudian mereka memosisikan telinga agar dapat mendengarkan.
Di tempat acara, sebuah taman wisata, kecuali tak malu untuk mojok memisahkan diri, akan ada orang menguping. Seorang duda muda, yang tampaknya diminati peserta, kelihatan kikuk karena para perempuan seperti menunggu kesempatan untuk mendekatinya.
Kembali ke foto Kompas.id, tampaknya perbandingan cewek dan cowok bukan 5:1 seperti tur yang saya ikuti. Ada sebuah foto, yang merupakan gambar andalan (featured image), dengan kapsi:
Warga lajang saling berkenalan lebih lanjut saat mengikuti ajang pencarian jodoh di Aula Kantor Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Minggu (5/1/2025)
Apa yang saya bayangkan? Si Mbak bermasker, yang lebih dari sekali muncul dalam galeri, dan pria mitra bincangnya yang beransel, apakah nyaman dan leluasa karena di dekat mereka ada dua orang lain yang pasti mendengar?
Mungkin si Mas menanya si Mbak tinggal di mana, pulang naik apa, lalu pria bertopi yang tertawa itu nyeletuk, “Bararti satu kompleks sama saya.” Itu kode untuk pulang bareng. Suatu upaya sabotase.
Arsip:
2 Comments
BTW likuran tahun silam sudah pakai panggilan kak, ya, Paman?
Sudah. Di toko-toko dalam mal