Saya gagal mengingat sejak kapan ada lemper kotak. Sebenarnya bukan gagal mengingat melainkan tak begitu hirau sampai memikirkannya. Siapa tahu tiga puluh tahun lalu bahkan lebih sudah ada lemper kotak.
Dalam pengandaian saya, pembuat lemper kotak lebih senang model macam itu karena praktis, tak perlu membungkus satu per satu dengan daun pisang, tinggal memotong lonjoran panjang. Memang sih ada yang menggunakan bungkus plastik dengan motif tekstur daun pisang hasil cetak (¬ lihat arsip 2013).
Nah, lemper kotak ini bagus karena ditaruh dalam kotak plastik berdinding tipis dengan desain penguncian klip pijit. Si desainer kemasan memanfaatkan karakter bahan. Desain macam ini saya apresiasi dalam pos “Sebetulnya bisa tanpa staples maupun selotip“.
Akan tetapi sayang sekali, wadah besar untuk menampung sosis solo dan lemper ini masih memanfaatkan kokot atau staples. Bagi pemasok penganan, mengokot atau mencekrek lebih lekas ketimbang menyelotip. Selain itu juga lebih murah. Padahal diasumsikan, kokot kawat itu berbahaya jika tertelan.
Saya pernah menulis “Masalah staple atawa kokot“, dengan menyertakan foto pencabutan kokot memanfaatkan ATK staple remover. Mencabut kokot pada plastik itu lebih sukar ketimbang pada kertas, bahkan bisa merusak kuku dan melukai jari. Mestinya aparat pemerintah dalam membina UKM melarang penggunaan kokot.
5 Comments
Sepakat, Bang Paman. Staples untuk makanan itu Indonesia banget.. Rada sadis, huhu.
Btw lemper kotak yg diiris itu tahun ’80-an pertama kali saya lihat buatan Monami. Entah apakah mereka yg memulainya ya..
Aha Mon Ami eh Monami! Semua jajanan di sana enak. Termasuk kue procot. Monami bagian dari keluarga yang punya optik dan apotek Melawai, Satay House eh Sate Khas Senayan, dsb. Mereka sepupunya pemilik Djarum dan BCA.
Oalah.. Baru tahu soal persepupuan itu.
Btw namanya kue clorot, Paman. Bukan procot :D
Grup F&B milik Melawai namanya Dari Rasa. Setahu saya, Melawai juga punya pabrik lensa
Eh clorot ya 👍🙏💐🙈