Natal, hujan

Perayaan Natal dapat terkendala pelbagai hal. Termasuk genosida di Palestina.

▒ Lama baca 2 menit

Hujan deras setelah kebaktian Natal di GKJ Pondokgede, Kobek

Kutemukan jepretan pada Hari Natal lalu yang aku ambil di gereja. Tetapi lamunanku saat itu tidak kemudian aku pindahkan ke blog. Meskipun demikian, lamunan itu hari ini masih melekat.

Seusai kebaktian Natal, yang tak penuh karena banyak jemaat mudik, hujan deras. Aku berdiri di beranda samping, dekat deretan mobile terparkir. Sebagian orang mengeluhkan hujan karena menghalangi agenda selanjutnya setelah dari gereja.

Seorang bapak mengatakan kepadaku, dia dan istrinya harus segera sampai rumah karena mereka khawatir rumah akan kebanjiran. Hujan deras jika berlama-lama akan menghasilkan genangan yang masuk rumah.

Hmmm… hujan. Setiap orang punya persoalan dengannya. Termasuk di antaranya para pemilik mobil yang terhalang jatuhan air langit untuk menyentuh pintu kendaraan.

Memang Natal tak selalu ceria, terutama bagi yang terkendala aneka hal. Ada persoalan sosial domestik, ekonomi masyarakat dengan penurunan daya beli, banjir di rumah, dan entah apa lagi.

Tentu ketika Yesus lahir dan seterusnya semasa dia hidup, tak ada perayaan Natal. Dalam kacamata manusia, ketika Dia menjadi janin pun bisa menjadi masalah bagi lingkungannya. Maria, seorang dara, hamil di luar nikah. Dalam latar kehidupan masyarakat Ibrani dahulu kala, hal itu aku bayangkan lebih rumit daripada masyarakat sekarang.

Dalam hamil tua, Maria harus menempuh perjalanan, dari Nazaret ke Bethlehem — entah naik apa, sebuah tafsir mengatakan butuh waktu tempuh empat hari — dan tak mendapatkan tumpangan untuk menginap karena semua rumah penuh oleh orang yang mudik untuk ikut sensus pemerintah Romawi.

Tak beroleh tempat menginap itu seperti tertolak secara sosial. Bahwa kemudian Yusuf dan Maria mendapatkan tempat ternak, lalu Yesus lahir di kotak kayu pakan ternak, masih belum jelas: itu dalam kandang yang terpisah dari rumah ataukah bagian dari rumah namun untuk ternak?

Aku ingat saat bocah, belum masuk TK, bersama mbakyuku menginap di desa, dalam rumah seorang simbok bakul, atas izin ibuku untuk semacam pengalaman live-in kalau dalam istilah sekarang. Rumah gedek berlantai tanah itu gelap, tanpa genting kaca, jendelanya kecil, tanpa listrik, kami semua tidur bareng sekeluarga dengan anak-anaknya di atas amben besar. Lalu?

Dalam rumah tanpa sekat itu selain ada pawon juga ada pojokan untuk kerbau, lengkap dengan baunya — esok pagi, penghuni rumah dan kerbaunya sama-sama mandi di sungai.

Dalam sebuah sketsa tafsir arsitektural untuk telaah historis, aku pernah melihat posisi ruang ternak tempat Yesus lahir itu di lantai dasar sebuah rumah. Memang bukan untuk manusia, karena penghuni rumah ada di lantai atasnya.

Apakah benar di Palestina dulu demikian, aku tak tahu. Kalau untuk kawanan domba, terceritakan dalam Injil mereka digembalakan di padang rumput. Maka muncul tafsir, para gembala di Padang Efrata, yang didatangi malaikat, itu adalah wakil kaum marginal yang tak perlu didata karena pemerintah Romawi takkan memungut pajak dari mereka.

Itulah sebabnya para gembala tetap di padang menjaga domba, tak ikut sensus. Para gembala pula, selain tiga Majusi dari Persia, yang menjenguk bayi Yesus.

Perayaan Natal yang kita kenal adalah tradisi gereja. Siapa yang memulai, dari sebuah tradisi lain macam apa, masih menjadi perdebatan.

Akan tetap lebih utama ini: dalam perayaan Natal ada banyak masalah dalam kehidupan, termasuk genosida di Palestina, oleh bangsa yang melahirkan Yesus. Di Bethlehem, kota kelahiran Yesus di Tepi Barat, yang menjadi wilayah Palestina, tak ada pohon Natal besar dalam Gereja Kelahiran dalam Natal 2024. Sama seperti tahun lalu.

Tinggalkan Balasan