Tergantung, apakah media lama bisa cari jalan keluar

Kalau ada eks awak media menyalahkan teknodigi sebenarnya karena kesal terhadap kebebasan berkonten oleh siapa pun.

▒ Lama baca < 1 menit

Jurnalisme tetap bertahan sepanjang publik membutuhkan — Blogombal.com

“Anakku deg-degan, Kang. Setelah ANTV mungkin TV tempat kerjanya juga akan PHK karyawan,” kata Gito Vanelli.

Kamso nyengir, lalu membukakan bungkus rokok yang selama seminggu masih terbalut segel merah.

Setelah isapan pertama, Gito bertanya, “Setelah koran dan majalah pada tumbang, media online juga kembang kempis, lalu TV juga, semua tinggal dikit, apa masyarakat masih dapat berita?”

Kamso mengangguk. Gito terus nyerocos, penuh keluh kesah, lalu menyalahkan teknologi digital.

Namun Kamso menyela, “Sampean sebenarnya bukan kesal sama teknologi tapi sama kebebasan bermedia, siapa pun bisa bikin konten. Jaman sampean jadi wartawan malah sempat ngalami SIUPP.”

Gito tersenyum kecut.

Kamso katakan, sekarang orang bisa bikin kanal di YouTube, menyebut diri TV, “Kalo perlu kayak stasiun beneran, punya orang lapangan, ada liputan. Sementara yang lain bikin talk show, yang disebut podcast padahal bukan audio kayak jaman iPod dulu, mengalahkan stasiun TV dan wawancara panjang di media online yang ngandalin teks. Stasiun TV akhirnya masuk ke YouTube, lebih rame dan murah ketimbang bikin streaming pake server sendiri. Bisa dapet cuan lagi.”

“Hmmmhhhhh…,” Gito melenguh tanpa disusul moooohhhh ala sapi.

“Setelah internet tambah mudah dan murah, apa yang dulu cuma ada di TV bisa dilihat di hape, tablet, dan monitor — maksudku TV yang nggak buat nonton siaran stasiun. Video komedi, drama, dan horor ada di layanan telko. Film ada di segala streaming. Legal pula, nggak kayak jaman DVD bajakan.”

“Jadi berita masih ada, maksudku diperlukan?”

“Masih. Buktinya video dan gambar atas nama berita, bahkan hoaks, masih laku. Artinya orang masih butuh. Bahwa mereka memilih informasi bukan dari konten media online yang jelas, itu soal literasi dan alasan ekonomi.”

“Ekonomi?”

“Orang maunya info yang gampang dicerna, singkat, dan nggak bayar, nggak peduli dari mana info dihasilkan, siapa yang tanggung jawab. Para kreator konten singkat mirip berita paham banget peluang itu.”

“Terus pemain lama media berita, yang masih menerapkan pedoman media siber ala Dewan Pers, bukan cuma masang pedoman itu, dan taat kode etik jurnalistik, harus gimana?”

“Nggak tau. Biar cari jalan sendiri. Kayaknya sih seleksi alam, media digital yang sesuai prinsip jurnalistik akan tinggal dikit.”

“Lalu mati?”

“Terserah publik. Masih perlu nggak. Kalo masih perlu mau bayar nggak.”

¬ Gambar praolah: Freepik

Tinggalkan Balasan