Dalam ponsel sebelum saya menghapus hasil jepretan iseng tak berhadiah pada jalan setapak rumput liar dan semak-semak, saya temukan ini: daun pucuk merah (Syzygium myrtifolium).
Niat saya memotret saat itu, awal Desember, untuk membandingkan foto sebelumnya. Namun setelah itu saya lupa mencari apakah foto terdahulu masih ada. Dalam trash yang belum saya kosongkan ternyata masih ada.
Melihat pucuk merah menggerumbul, sebagai kelanjutan hidup tunas pada pohon meranggas, saya teringat petuah perihal kehidupan. Segala makhluk tumbuh dan berkembang sampai akhirnya lelah dan menuju kematian. Memang ada pohon yang bertahan 2.000 tahun lebih , misalnya General Sherman (¬ Mongabay Indonesia) dan ada kura-kura besar Galapagos yang di alam liar bisa sampai berumur 100 tahun (¬ Aqua Expeditions), namun di luar mereka banyak yang jangka waktu hidupnya cekak.
Pucuk merah di antara dedaunan sekaum yang hijau mengingatkan saya kepada hiasan Natal. Warna merah dan hijau sering menjadi tema, ditemani warna emas dan perak. Apakah harus begitu? Tentu tidak. Tradisi adalah hasil kesepakatan.
Lalu apakah Natal harus disertai pohon Natal? Tidak. Mau pohon betulan termasuk bambu, pohon tiruan dari plastik, pohon dari botol plastik bekas pakai, dan pohon dari kardus bekas, silakan. Tanpa pohon juga boleh. Bebas.
Misalnya menggunakan pohon betulan tanpa menebang juga boleh. Saya berpikir tentang pucuk merah yang dihiasi lampu warna-warni dengan tenaga listrik dari sel surya. Di lokapasar dijual. Saya pernah beli. Saya taruh di tanaman pagar Lee Kuan Yew karena saya tak punya pucuk merah.
Lalu apakah Natal harus dirayakan dengan menghias rumah? Tidak. Suka-suka sajalah. Lebih utama hati yang selalu cerah karena akan berbuah baik bagi sesama, termasuk yang tidak merayakan Natal. Wajah cemberut tak mencerahkan orang lain. Mudah diucapkan namun berat diwujudkan. Karena yang tampak lahir tak selalu mewakili batin.