Saya pernah mendengar orang menyebut bangunan di kiri jalan itu rumah tinggi. Sebenarnya rumahnya tidak tinggi dalam arti jangkung, biasa saja, namun bangunan tersebut berdiri di atas tanah yang lebih tinggi daripada tetangganya. Misalnya tetangga kebanjiran, rumah itu tetap aman.
Rumah tersebut dulu bukan bagian dari kompleks. Lalu seorang warga kompleks membeli tanah gumuk dan mendirikan rumah, menghadap ke kompleks. Sampai sekarang nama kampung yang konturnya lebih tinggi dari kompleks tersebut adalah Bulaktinggi.
Kompleks perumahan yang dibangun pada 1980-an itu sebagian menempati lahan bekas sawah dan empang, sebagian lain di atas tanah kampung yang tahahnya lebih tinggi dan lebih padat, kualitas air tahahnya dalam kedalaman sama lebih bagus daripada yang bekas sawah. Di lahan bekas empang, penggalian fondasi di titik tertentu sering terganggu air payau yang muncul dari galian.
Mungkin untuk mempermudah pembangunan, pengembang meratakan semua lahan, sehingga pada bagian perbatasan dengan kampung Bulaktinggi ada tebing sisa pengeprasan.
Lokasi perumahan tersebut lebih rendah dari jalan raya. Karena perubahan lingkungan, terutama pertumbuhan rumah di sekitar, sebagian spot di kompleks tersebut saat hujan deras dan lama akan tergenang — istilah sopan untuk tidak menyebut banjir, meski hanya selutut pria dewasa, terutama yang di dekat kanal.