Saya lupa siapa namanya namun kami saling mengenal wajah. Dia tahu lokasi rumah saya. Tentang daerah asal, saya juga lupa. Mungkin dari Garut, Sukabumi, atau Kuningan, Jabar. Ada satu hal saya kenal ihwal dirinya. Yakni suaranya dan ayunan langkah kakinya.
Jika terdengar “Sol spa-tuuu…” berarti sekitar pukul setengah tujuh. Dia melintas di depan rumah saya. Ayunan langkahnya panjang, pikulan kecil berisi perkakas reparasi alas kaki itu ikut berayun sedikit. Seorang nenek, tetangga, yang sedang mamangkas tanaman menyapanya, “Tumben siangan, Mas.” Dalam foto, kepala nenek itu tersembul.
Aktivitas pagi banyak orang, termasuk kita, biasanya terpola pada jam tertentu. Saya tahu suara ojek penjemput cucu rumah sebelah maupun ojek penjemput dan pengantar anak depan rumah.
Namun suara sapu lidi Pak B, pria sepuh sukarelawan penyapu jalan selingkungan, tidak bisa menjadi patokan waktu selain sebelum pukul enam pagi, karena pukul empat seperempat pun dia kadang sudah bekerja. Suara penjaja roti keliling Tan Ek Tjoan biasanya sekitar setengah tujuh pagi dan setengah delapan malam.
Orang Muslim biasanya lebih peka terhadap jam salat, bahkan dari azan Toa masjid yang perlahan. Generasi baby boomers mengalami suara radio tetangga, karena tak setiap rumah tangga punya radio, yang menyiarkan penanda waktu warta berita RRI sebagai jam. Di Semarang dan sekitarnya dulu, sepotong lagu “Empat Penari” adalah jam berita RRI Semarang pukul 6.30 yang direlai (relay, sambung siar) semua stasiun radio swasta.
Dari stasiun radio Brava Jakarta, saya dulu tahu sudah pukul enam saat pria penyiar sudah menyapa. Radio saya nyalakan lebih dini untuk mengisi suasana. Dulu sebelum ada reformasi, radio beneran, bukan pengaliran, saya set sebagai alarm pagi untuk mendengarkan berita BBC Indonesia.
Apakah semua pagi berisi gegas tergesa? Sebetulnya tidak. Ada yang biasa saja. Namun ada yang tampak terburu-buru. Saya dulu tahu seorang tetangga sudah berjalan cepat menuju pangkalan angkot CH KWK T10 pukul setengah lima pagi. Tetangga lain, saat itu masih seorang bapak muda, pukul setengah tujuh pagi sudah melangkah santai, rambutnya basah tersisir, lewat di depan rumah saya sambil mengisap Dji Sam Soe.
Derap pagi adalah warna harian kita. Maka saya teringat lagu lama dari Chrisye sebelum album Sabda Alam, bahkan sebelum Badai Pasti Berlalu, namun mungkin tak terkenal: “Mesin Kota” (Jurang Pemisah, 1977). Lagu karya Yockie Suryoprayogo itu dinyanyikan Ahmad Albar dalam album yang mungkin juga tak terkenal: konser Musik Saya Adalah Saya (1999). Isi lagu tersebut ingin membebaskan diri dari irama sibuk harian.
Irama pagi sempat menepi saat amuk pandemi Covid-19. Banyak orang tak bekerja di luar, banyak anak belajar dari rumah.