Malam itu, begitu terdengar suara dari jalan, ada kentongan dipukul, anak saya segera berteriak dari dalam rumah, “Dogdog! Dogdog!”
Tetapi suara itu terus bergerak, menjauh. Giliran istri saya yang berseru, “Dogdoggggggg!” Namun suara kentongan kian menjauh.
Lalu saya keluar dari rumah, menghambur ke jalan, dan berteriak, “Hoiii! Bakmiiiii!” Dia sudah agak jauh, berhenti, menoleh ke belakang, kemudian memutar arah gerobaknya, dan menghampiri saya.
Kepada istri dan anak, saya ingatkan, “Dia nggak tau kalo kita nyebut dia dogdog. Bapak kalo manggil dia bakmi.”
Tentu nama dia bukan Bakmi, Nasgor, atau Kwetiau, sesuai jualannya. Nama pemuda Bangkalan, Madura, Jatim, itu Bahrul Ulum. Saat bertatap muka saya menyebut namanya.
Baru dua bulan Bahrul berjualan keliling. Umurnya 16—17 tahun, dari kampung dia dipanggil oleh bibinya, Sadiyah, penjual nasgor dan bakmi dekat polder, ke Kobek, Jabar, untuk menggantikan Mas’ud, kakaknya yang berusia 19 tahun.
Mas’ud yang tahun ini menggantikan anak lain, merasa capai berjualan keliling, lalu dia pulang kampung, mengikuti seniornya yang kepenatan dan tak kerasan.
Anak saya memesan nasi goreng. Saya memesan bakmi rebus. Rasanya enak. Per porsi Rp16.000. Sejak abad lalu, ketika gerobak berkentongan masih didorong Cak Heri, paman anak-anak itu, secara internal keluarga saya menyebut bakmi dan nasgor itu dogdog, sesuai onomatope kentongan dalam telinga dan benak kami.
Begitulah, masing-masing dari kita secara internal pernah punya sebutan khusus untuk pihak lain. Ada saja riwayatnya. Namun negara juga bisa melakukan hal serupa, tidak secara internal. Dahulu Israel tidak pernah menyebut PLO, karena menyebut berarti mengakui.
Pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru tak mau menyebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Orgasasi Papua Merdeka (OPM), yang mungkin juga bukan nama resmi, melainkan GPK, singkatan gerakan pengacau keamanan. Media diminta menggunakan sebutan GPK. Kalau media tak hirau, redaksi akan ditelepon oleh sebuah kantor militer. Bahasa juga menyangkut kuasa.
Kini kita mengenal sebutan KKB, kelompok kriminal bersenjata di Papua. Sebagian media menempuh jalan tengah, menyebut mereka KKB/OPM. Coba tengok laman Tribun Medan. Apakah Anda tahu apa saja nama resmi setiap faksi OPM?
5 Comments
Saya, istri dan anak ragil sama-sama menyebutnya “bakmi dhug-dhug” tapi mas asal Tawangsari, Sukoharjo,
itu jualannya tak cuma bakmi goreng dan berkuah melainkan juga nasi goreng dll.
Pas saya butuh, meski biasa menyebutnya sebagai bakmi dhug-dhug, saya selalu meneriakinya dengan kata bos.
“Nasgor, ya, bos!” ini contoh teriakan saya.
Oke Bos!
Berarti di bos pake kentongan ya?
Betul, kentongannya bunyinya dhug-dhug, bukan dogdog.😁
Oalah.. saya kira nama generiknya mi tek-tek, dari bunyi sutil yg dipukulkan pada wajan :D
Beruntung masih ada yg lewat di kompleks ya, Bang Paman
Lho yang generik memang tektek, tapi bakmi Madura ini beda, pakai kentongan 😇