Tulisan sebagai warisan

Setelah kita mati kita tak tahu nasib peninggalan kita, termasuk nama kita.

â–’ Lama baca < 1 menit

Kuburan Blogombal entah di mana

Karya apa yang akan kau wariskan untuk anak cucu, tanyamu. Dengan tawa aku jawab, tidak ada.

Harus ada, katamu. Siapa yang mengharuskan, balasku.

Harus, katamu lagi. Aku tertawa kecil.

Kalaupun sulit menulis buku, kemas saja isi blogmu menjadi buku, katamu. Aku tertawa lagi. Aneh bagiku, isi sudah ada di web mengapa harus dibuat buku. Aku tak pernah berminat memindahkan isi blog ke kertas. Sudah ada web yang mudah diakses kenapa pula harus dicari dalam bentuk buku. Lebih masuk akal dari kertas aku salin ke blog, seperti beberapa kali aku lakukan terhadap tulisanku di media cetak terbitan pihak luar.

Tak puas dirimu dengan jawabanku. Lantas kau desakkan tanya, apa masalahmu.

Kukatakan dengan ringan, membuat buku hanya menjadi biaya, apalagi tak ada yang baca. Bahkan blogku pun tak dibaca oleh istri dan anak-anakku.

Lalu bagaimana keluargamu tahu kau pernah menulis, tanyamu makin melaju. Kukatakan, mereka tahu tanpa pernah membaca karyaku, kalau pun pernah mungkin sudah lupa, karena aku pernah bekerja di penerbitan, cetak maupun daring. Dari sanalah aku menafkahi mereka, menyekolahkan anak-anakku, membangun rumah, membeli mobil bekas dan sepeda.

Apakah mereka tahu buku apa saja yang pernah kau sunting, bahkan kau rancang sampulnya, malah ada yang tata letak isi buku kau garap pula, tanya dari mulutmu melebihi kepulan asap sigaretmu.

Kujawab aku tak tahu dan tak peduli. Aku pun tak pernah menunjukkan kepada mereka. Kalau misalnya mereka tahu itu karena kebetulan menemukan atau ada orang lain menunjukkan.

Hidupmu seperti percuma, sengatmu. Mungkin, kataku. Biarlah orang lain yang menilai, termasuk keluargaku.

Lalu aku beranikan menyoal, adakah karyamu yang kau wariskan.

Kau bilang, seisi rumah tahu apa yang aku kerjakan, melihat hasilnya; memang aku tak meninggalkan tulisan atau foto atau gambar, tapi namaku ada dalam buku panitia ini itu dan dalam bermacam sertifikat maupun trofi serta plakat cendera mata dan penghargaan yang aku pajang.

Setelah itu kau lanjutkan, apakah dirimu memajang sertifikat, plakat, dan trofi. Kujawab pendek tidak. Karena tak ada tempat. Nanti saja setelah rumah aku tata ulang entah kapan.

Kalau kau tak menghargai diri sendiri bagaimana orang lain terutama keluarga menghargaimu, demikian kau berpetuah.

Enteng kujawab, apakah setelah aku mati semua karya dan barang bukti reputasi itu tak akan merepotkan istri dan anakku. Lagi pula setelah aku mati aku tak melihat apa yang mereka lakukan terhadap peninggalanku termasuk namaku.

¬Ilustrasi dihasilkan oleh kecerdasan artifisial

2 Comments

Junianto Senin 9 Desember 2024 ~ 15.03 Reply

Sertifikat, plakat dan trofi, waduh, saya tidak punya (adanya sertifikat rumah).

Pemilik Blog Senin 9 Desember 2024 ~ 15.24 Reply

Sertifikat layak diwariskan kepada ahli waris. Untuk jadi ahli waris tidak perlu sertifikasi kompetensi.

Tinggalkan Balasan