Dalam hujan deras pagi hari, namun dalam foto air hujan hanya muncul sebagai garis, para petugas sampah tetap bekerja. Saya melongok ke luar pintu pagar, terlihat stiker besar tertempel pada dinding luar bak truk. Ada gambar pusat kota di Kobek, Jabar. Rapi. Resik. Sebagai cita-cita tentu baik.
Bagi saya hal itu menarik. Teknologi cetak digital memberikan keleluasaan untuk menghias aneka benda. Termasuk truk sampah. Maka dulu, belasan tahun silam, saya pernah menulis akan elok jika truk tangki sedot WC dihiasi gambar bunga.
Tetapi di luar urusan stiker besar, kita sepakat bahwa pengelolaan aneka jenis dan sumber sampah itu rumit. Tak setiap kota dapat melakukannya dengan baik. Contoh mutakhir adalah Kota Yogyakarta, DIY.
Salah satu masalahnya bukanlah memadai atau tidak jumlah armada truk sampah yang tidak mangkrak melainkan ketersediaan lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA). Jika kita menyoal mengapa dalam perencanaan wilayah hal itu, yakni TPA, dulu tak dipikirkan matang, ada saja jawabannya. Biarpun di sebuah kota mana pun ada universitas bagus yang paham masalah lingkungan, birokrasi punya cara pikir dan kerja yang berbeda. Mungkin ini tragedi sekaligus komedi.
Kota Surabaya (Jatim), Kota Sita dan Kabupaten Banyumas (Jateng), juga DKI (lokasi TPA di Bantargebang, Kobek, Jabar), bisa menjadi contoh. Memang sih TPA bisa memunculkan masalah baru, misalnya polusi udara dan pencemaran air tanah.
Misalnya pun pemkot dan pemkab lain sudah melihat langsung, entah apa hasilnya. Sekali lagi: birokrasi itu rumit. Kita tak tahu apakah para pemenang Pilkada 2024 bisa menangani birokrasi dengan baik dan benar, termasuk dalam mengurusi sampah.
2 Comments
Mengembangkan kota tanpa TPA memadai ibarat membangun rumah tanpa tempat sampah, dan banyak orang melakukannya. Maunya menumpang buang di tempat sampah tetangga. Heran.
Bahkan ada yang niat, naik motor bawa sampah dari rumah dibuang di lahan kosong atau pinggir jalan 🙈