Ini lanjutan babak aneh hubungan Mulyono dan PDIP. Lebih dari sekali kandang banteng menyatakan bahwa bapak beranak bermenantu itu bukan lagi anggota partai. Kemarin karena Golkar menyatakan telah mengangkat Mulyono dan anak sulungnya sebagai anggota kehormatan, soal ini mengemuka lagi.
Soal pemecatan dalam organisasi itu hal biasa. Berlaku untuk badan hukum kedai martabak, pabrik meja kursi, sampai partai. Maka wajar jika PDIP memecat Effendi Simbolon, karena dia indisipliner, dengan surat keputusan 1648/KPTS/DPP/XI/2024, pada 28 November lalu.
Soal dipecat resmi atau hanya tak diakui sebagai bagian dari keluarga, yang dalam bahasa Jawa disebut disébrataké déning brayat, itu tak penting bagi Mulyono. Karena misalnya masih menjadi anggota pun dia bebas dan berhak berpindah partai, atau malah mendirikan partai.
Hanya saja PDIP terlalu baper, tidak bisa ndagel dengan angkuh, “Apa? Siapa? Dia? Kami lupa itu siapa.” Bukankah sikap angkuh, atau arogan, adalah citra partai yang menyebut diri mewakili wong cilik itu, di mata sebagian orang luar?
Maka tak salah jika Ketua Projo Budi Arie Setiadi dengan cengengesan bilang, junjungannya bisa masuk partai mana saja, termasuk Projo misalnya kelompok itu jadi partai.
Kalau Projo mau jadi partai itu niat yang sah. Punya massa, apa salahnya? Pada awal reformasi muncul banyak partai, tetapi tak semuanya lolos ke parlemen. Yang sempat lolos pun kemudian rontok.
Projo dan kelompok sukarelawan pendukung capres, yang kemudian disingkat relawan, itu unik. Mereka seperti meledek partai yang belum tentu dapat memobilisasi massa sebaik relawan.
Jika pun kemudian partai memanfaatkan relawan non-onderbouw, hubungan di antara mereka sangat transaksional, antara lain menyangkut imbalan politik. Kasus relawan Mulyono dalam Pilpres 2024 adalah contoh: tegak lurus dengan sabda junjungannya. Bahkan setelah pilpres, Mulyono menghimpun kembali sekian kelompok relawan, April lalu. Di sisi lain, November lalu Prabowo pun membentuk Gerakan Solidaritas Nasional untuk 2029.
Tak ada yang aneh jika gerakan dan sebangsanya kemudian menjadi partai. Gerindra dan Nasdem dimulai dari gerakan berbadan hukum. Golkar selama puluhan tahun secara resmi bukanlah partai, tetapi ikut pemilu dan mengusai parlemen di pusat dan daerah.
Pada mulanya, dalam era pra-Orde Baru, Golkar adalah sekretariat bersama (sekber) kelompok fungsional — dari tentara, petani, buruh, pengusaha, sampai artis. Barulah setelah reformasi kekuatan politik korporatis itu berganti nama Partai Golkar.