Rakyat jelata dan sengketa kata

Persoalannya adalah konteks: jelata diucapkan oleh siapa, ditujukan kepada siapa, untuk kepentingan apa.

▒ Lama baca < 1 menit

Rakyat jelata di kolong Jalan Tol Wiyoto Wiyono Jakarta

Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan Adita Irawati meminta maaf kepada publik karena telah menggunakan diksi, atau pilihan kata, “rakyat jelata” saat menjelaskan sikap presiden terhadap kasus Gus Miftah. Saya menghargai tindakan tanggap Edita, namun saya tak menyalahkan dia.

Di sisi lain saya tak menganggap para pemrotes diksi itu salah. Kedua pihak benar. Bahasa memang bisa merepotkan karena selain menyayangkut logika juga terlebih-lebih rasa. Maka ada sebutan rasa bahasa. Kita mempraktikkannya dalam keseharian sepanjang hayat, sejak kecil saat mengenal kata.

Pilihan kata bertaut dengan konteks. Kadang masalahnya kata apa diucapkan oleh siapa dan ditujukan kepada siapa untuk keperluan apa. Untuk mempertegas posisi pengutuban dalam berhadapan dengan penguasa, bisa saja saya dan kelompok saya menyebut diri rakyat jelata. Atau bisa juga menyebut rakyat miskin, misalnya Jaringan Rakyat Miskin Kota.

Adapun PDIP menyebut diri partainya wong cilik. Yang cilik itu sebagian konstituen mereka, bukan pengurus partai. Saya sebut sebagian, karena wong cilik lainnya mendukung partai yang berbeda. Tetapi partai lain, misalnya kini Partai Buruh, dan dulu PRD, tak mungkin mendaku partainya wong cilik. Wong cilik sudah jadi label kebanggaan PDIP.

Kata miskin, kemiskinan, pemiskinan itu terasa netral, rakyat, akademisi, dan negara sama-sama menggunakannya. Maka ada rakyat miskin, fakir miskin (dalam UUD 1945), garis kemiskinan, dan proses pemiskinan. Meskipun netral, jangan menyebutkan orang lain, “Sebagai orang miskin, apa harapan Anda?”

Tentu ada pula istilah lain, sering kali untuk eufemisme, untuk menyebut orang miskin. Misalnya orang tak berpunya, sebagai seberang dari orang berpunya (the haves). Namun dalam percakapan antara orang pertama dan orang kedua tunggal maupun jamak, juga tak elok menyebut, “Sampean kan orang ndak punya, lalu apa maunya sampean?”

Lain soal jika si pelontar menempatkan diri setara dengan mitra bincang, “Kita ini kan orang nggak punya, masa kita harus anu dan anu…”

Bahasa, dalam hal ini istilah, juga menular. Dulu, 1980-an sebagian orang Jawa heran mengapa di televisi ada pesohor mengucapkan “orang susah”. Dalam benak mereka, orang susah itu orang yang sedang bersedih. Namun dalam perjalanan waktu, mereka paham bahwa wong susah, dan uripé susah, berarti orang miskin dan hidup dalam kemiskinan.

¬ Gambar: Detik

2 Comments

mpokb Minggu 8 Desember 2024 ~ 22.15 Reply

Kata orang zaman now, “Jangan kayak orang susah.” Tapi konteksnya bisa apa saja..

Pemilik Blog Minggu 8 Desember 2024 ~ 23.57 Reply

Lalu bahasa Inggris versi Indonesia adalah…. 😂

Tinggalkan Balasan