Jagoan dengan setelan pangsi merah itu, entah Jampang entah Pitung, melompat dan akan mengayunkan goloknya. Tak akan ada salah seorang pengeroyok yang terjengkang menerjang meja makan. Karena mereka hanya pengisi mural sepanjang enam meteran di sebuah kedai Betawi di Condet, Jaktim.
Adegan dalam mural mengingatkan saya pada ritual pernikahan Betawi, yakni demo adu silat yang disebut palang pintu setelah berbalas pantun. Silat adalah bagian perjalanan hidup pria Betawi, yaitu ngasosi: ngaji, solat, silat.
Karena yang tampak itu berupa gambar diam, saya dapat menikmati adegan silat bersenjata. Waktu kecil saya tega membaca komik silat dengan perkelahian berdarah dalam cetakan hitam putih. Namun makin tua saya tak nyaman melihat hal macam itu apalagi dalam film.
Seorang juri FFI belasan tahun silam mengingatkan saya, “Mas, sampean jangan nonton The Raid. Terlalu keras buat sampean.” Di X juga ada tutorial bela diri, namun hanya peragaan, umumnya tangan kosong, termasuk menghadapi belati dan pistol, sehingga saya biasa saja.
Untuk film silat Cina dengan koreogafi indah, saya suka. Yang ngawur konyol macam Kung Fu Hustle saya suka. Demikian pula film Jackie Chen Lung. Untuk film bukan silat, trilogi The Equalizer masih nyaman untuk saya. Bagi orang lain film itu terlalu lunak.
Tetapi kalau itu perkelahian nyata di media sosial, seperti carok tempo hari di Madura, saya tak berani melihatnya, berupa foto maupun video. Itu bukan adegan film karena dalam film pun kekerasan bisa tak terlalu mengerikan. Manfaat estetika adalah untuk menjinakkan dorongan keras, kasar, dan ganas dalam diri manusia — setidaknya dalam visualisasi.
Kalau kekarasan dalam tuturan lisan maupun tertulis, tergantung pemeriannya. Misalnya bagaimana Arya Penangsang tewas melawan Sutawijaya, dan kelak bagaimana Sutawijaya sebagai Panembahan Senapati menghukum Ki Ageng Mangir dalam salah satu versi, bisa menjadi cerita datar maupun mengerikan.
Demikian pula bagaimana Durna mati di tangan Drestadyumna. Atau bagaimana Pieter Erberveld di Batavia dihukum mati seperti memperlakuan celana jin dalam gambar label kulit pada pinggang celana Levi’s.
Tetapi kalau misalnya memergoki orang saling bacok, mungkin saya ngeri. Barangkali tak sengeri memergoki orang baku tembak dengan pistol.
Dulu waktu bocah hingga remaja, saya membayangkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah dalam serial cersil Api di Bukit Menoreh itu adalah wanita cantik dengan banyak keloid di tubuhnya karena terluka senjata lawan.
Kenapa? Saya teringat orang-orang dewasa yang memiliki bekas garis cacar mirip ulat tanpa bulu di lengannya.
3 Comments
Ooh Paman suka trilogi Equalizer. Salim, dong.
Denzel Washington 👍
👍