Sekoteng lagi, setelah sekian lama tak merasai

Beberapa penjaja jajanan tak lewat lagi setelah pandemi usai. Pembeli sekoteng menyusut. Selera sudah berubah?

▒ Lama baca < 1 menit

Sekoteng lagi, setelah sekian lama tak merasai

Saya bisa memastikan lebih dari sepuluh tahun. Soal apa? Lebih dari satu dasawarsa saya tak merasakan sekoteng keliling. Malam itu dia lewat. Tumben. Si penjual menggunakan gerobak. Masih tampak baru dan bersih.

“Akhirnya saya pake gerobak, Pak,” dia berujar. Alasannya, “Capek kalo mikul.”

Sebenarnya dia dan tukang sekoteng lain — ya, tukang adalah penjual — sudah jarang lewat berkeliling kampung dan kompleks, bahkan sebelum pandemi.

Sekoteng lagi, setelah sekian lama tak merasai

Saya kurang jelas menanglap ceritanya mengapa makin ke sini makin jarang dia dan korpsnya lewat. Apa karena beberapa jalan dalam kompleks selewat pukul sepuluh malam ditutup? Dia hanya mengiakan.

Sekira empat tahun lalu, saya mendengar cerita dari senior yang lebih dini menghuni kompleks, bahwa dulu, tahun 1980-an, pukul satu malam pun ada sekoteng lewat. Dan ada pembelinya. Aneh juga.

Sekoteng lagi, setelah sekian lama tak merasai

Ada pembelinya. Ini menarik. Saya menduga kaum muda di kompleks tak meminati sekoteng lagi. Selera sudah berubah tersebab beda generasi. Tentang hal ini si penjual ketika saya tanya hanya tertawa kecil. Oh, bukankah kami pun sudah lama sekali tak merasai, artinya tak membeli?

Malam itu saya memesan dua mangkuk sekoteng. Untuk saya dan istri. Rasanya seperti yang dulu: biasa saja. Saya tanya berapa, dia bilang Rp26.000.

Setelah dia berlalu dengan mendentingkan mangkuk beradu sendok bebek, ting ting ting…, istri saya bergumam, “Kok mahal ya sekarang.” Tetapi saya lupa, belasan tahun silam berapa harga seporsi. Mungkin Rp5.000.

Tinggalkan Balasan