Lihat gambar di atas. Ada sejumlah ruang dalam situs web berita yang berisi iklan. Beritanya yang mana? Ada dalam teks biru. Sebenarnya teks itu adalah daftar judul di bagian bawah tubuh berita. Namun ketika pembaca menggulung layar ke bawah, tinggal baris senarai teks biru di antara keveling iklan atas dan bawah.
Lalu lihatlah gambar di bawah ini. Baru membaca judul, mata kita sudah terganjal tiga iklan. Syukur jika Anda tak merasa terganggu. Malah bisa jadi Anda tak pernah terhadang iklan karena memasang pengeblok iklan (ad blocker).
Media butuh iklan — tepatnya: uang dari iklan — untuk menutup ongkos produksi. Dalam media gratis, iklan adalah sumber utama pendapatan. Bisa berupa pemasangan langsung spanduk (banner), kerja sama konten berbayar dari pengiklan, dan iklan programatik. Sumber lain adalah gelaran acara yang juga melibatkan penaja. Setidaknya ada yang mengongkosi promosi jenama diri.
Terganggu oleh iklan
Pembaca yang terganggu oleh iklan berlebihan, sehingga menutupi layar ponsel dan tablet, akan mematikan kemumunculan ikan, terutama iklan sembulan (pop-up ads). Namun lucunya, media pemuat iklan juga ada yang memasang panduan untuk melenyapkan iklan dari layar, misalnya Tempo.co pekan lalu.
Iklan sembulan, apalagi yang animated, memang mengganggu. Ada yang sekian detik kemudian lenyap, ada yang bertahan sampai kita mengeklik tanda silang. Contoh animasi sembulan lihat contoh di bawah. Dia muncul dan melayang-layang di layar justru ketika pembaca sudah membaca sampai di tengah tubuh berita.
Jika Anda mengeklik iklan sembulan tersebut, sehingga sampai ke halaman tujuan (landing page) berarti Anda menambah kualitas iklan itu. Tergantung rumus yang dipakai, reaksi pembaca menentukan harga, apalagi jika sampai pada tindakan.
Membingungkan? Misalnya Anda melihat iklan diskon lokapasar lalu mengekliknya, sehingga sampai di sebuah laman web atau malah aplikasi, dan melihat-lihat, maka nilai iklan itu naik. Media pemuatnya senang.
Demi trafik, iklan, langgam jurnalistik pun berubah
Ada sejumlah rumus iklan daring, antara lain cost per mile (CPM, pengiklan membayar berdasarkan seribu kali tertayang), cost per click (CPC, pengiklan membayar berdasarkan jumlah pengeklikan iklan), dan cost per action (CPA, pengiklan membayar berdasarkan tindakan pembaca, misalnya pendaftaran atau pembelian).
Di luar itu masih ada rumus lain, pokoknya teknis, tidak penting dibahas di sini, namun sebagai konsumen berita kita kerap mendapati situs dengan judul berita umpan klik, empat paragraf awal mbulet, dan halaman bersambung. Itu demi tingkat kunjungan pembaca. Berita sela (breaking news) yang cepat dibaca, mudah dipahami dalam tiga paragraf awal, karena sudah ada ringkasan penggiring di bawah judul, tidak memberikan trafik bagus.
Ada lagi yang konyol, dari kacamata jurnalisme old skool aneh, yakni menghindari judul dan ringkasan yang enak dijadikan tangkapan layar, karena ketika dibagikan di media sosial takkan menambah trafik, isi pesannya sudah jelas.
Jangankan gambar, tautan dari sebuah situs, yang memuat judul, gambar, dan URL saja belum tentu diklik. Namun di media sosial ada orang yang gatal berkomentar tanpa membaca isinya, bahkan langsung membagikan, sekadar meneruskan tanpa memahami isinya. Ada apologi untuk pasal literasi itu: kini bukan era membaca karena membaca bikin penat. Gambar diam maupun gambar hidup lebih utama. Tentu tak berarti kita kembali ke gambar cap tangan oker dan sketsa hewan di dinding gua pada awal masa revolusi kognitif pra-aksara.
Soal eksosistem dan upah buruh konten
Lalu ke mana arah tulisan saya ini? Jangan mengumpati media gratis yang kemaruk iklan, karena mereka butuh uang. Dan kalau bisa jangan memasang ad blocker. Saya tak memasang bloker. Kadang iklan saya klik karena reklame adalah informasi. Blog ini mencatat iklan-iklan daring yang aneh untuk dokumentasi keisengan saya.
Sebenarnya bukan iklan yang mengesalkan saya, asalkan tak berjejalan, melainkan produk jurnalistik demi trafik dengan tulisan berputar-putar, berhalaman sambung sampai empat bagian, namun dagingnya tipis.
Kita menuntut media berita yang genah, gratis, dan tak merepotkan pembaca. Tapi kalau kita membunuh iklan mereka, itu sama saja mencekik selang dari keran aliran receh untuk menghidupi para buruh konten. Istilah buruh konten saya pinjam dari Evi Mariani, ko-pendiri Project Multatuli, di X ketika menanggapi kasus serial berita sensasional di Viva News.
Percuma memaki mas Ridho ini, apalagi mendoxing dia. Ada banyak Ridho-Ridho lain di banyak redaksi, yaitu buruh-buruh konten yg prestasinya diukur dari seberapa banyak berita dia dibaca menurut Google Analytics.
— Evi Mariani (@evimsofian) July 29, 2021
Iklan dan layanan berbayar adalah bagian dari eksosistem bisnis media. Sama seperti dulu penjualan kaset, CD, dan piringan hitam. Produk bajakan mengganggu ekosistem. Begitu pula dengan buku bajakan dan aplikasi bajakan.
Tetapi di YouTube banyak video musik tak resmi, kan? Karena pemilik hak cipta membiarkan. Itu lain soal. Sebelum meninggal, David Bowie meminta YouTube mencopoti sejumlah video tak resmi. Untuk menyematkan (embed) musik maupun berita dalam blog, sebisanya saya merujuk akun resmi. Untuk ikut merawat ekosistem industri konten.