Bagi saya kartun Mice di Kompas Minggu (1/12/2024) masih kocak dan makjleb. Memang dari sisi isu seperti telat, namun soal perbandingan pajak pertambahan nilai (PPN) Indonesia dan negeri lain masih relevan.
Artinya, apa yang ada di benak rakyat dan pemerintah bisa nggak nyambung. Bahwa pemerintah punya alasan legal untuk menaikkan PPN ya silakan, tapi bagi rakyat kenaikan dari 11 persen menjadi 12 persen — artinya dari sisi persentase kenaikan hampir 10 persen —mulai bulan depan itu dianggap mengada-ada.
Secara umum, orang dalam posisi sebagai pembayar tak menyukai kenaikan harga, tarif, dan apalah. Mengeluh itu pasti, namun akhirnya akan terpaksa menerima, lalu terbiasa. Tetapi setiap orang sebagai penerima bayaran, atas nama apa pun, senang jika angkanya naik. Salah satu alasan, untuk membayar ini dan itu juga naik angkanya.
Dalam ekonomi, pembayar dan penerima pembayar itu melekat pada diri setiap orang. Bahkan dalam ekonomi barter pun berlaku. Lalu bagaimana sebenarnya perbandingan PPN yang di negeri lain disebut VAT (value added tax) dan GST (goods and services tax)? Silakan tengok senarai perbandingan di laman PricewaterhouseCoopers (PwC).
Kita belum setara Denmark yang 25 persen atau Finlandia yang 25,5 persen, tapi lebih tinggi daripada Thailand yang 7 persen mulai Oktober lalu, lebih tinggi daripada UEA yang 5 persen, dan Timor Leste yang 2,5 persen untuk barang impor namun 0 persen untuk barang non-impor.