Salah satu hal yang saya syukuri dari ponsel berkamera adalah dapat membaca, menyalin, menerjemahkan, dan bahkan membacakan teks. Ponsel termurah pun dapat melakukannya.
Tadi saat akan mencoba alat kecil baru non-elektrik dengan tambahan fitur atau kebisaan, saya kerepotan membaca lembar kecil petunjuk pakai dengan teks yang memakai ukuran fon liliput.
Dengan ponsel saya dapat membaca teks tersebut berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dari bahasa Ceko dan Hungaria (Kemenlu tak konsisten: kadang memakai Hongaria), lalu mendengarkan robot membacakan untuk saya. Inilah contoh faedah kecerdasan artifisial atau akal tiruan. Belum memuaskan namun saya yakin si mesin akan terus belajar.
Kita, terutama generasi sepuh, kadung membayangkan AI tak tergapai. Padahal produk akhir layanan AI mudah kita akses. Sudah sepuluh tahun lebih kita terbiasa dengan kamera gerbang parkiran berfasilitas OCR untuk mencatat pelat nomor mobil, kemudian data dimasukkan ke dalam sistem penagihan. Semuanya berlangsung cepat karena dukungan AI. Memang sih, kalau sistem komputer ngadat akan merepotkan.
Perihal ponsel yang disebut cerdas — namun kini menyebut smartphone terasa berlebihan karena hampir semua ponsel anyar yang dijual adalah jenis itu — salah satu manfaat domestiknya adalah untuk membaca teks kecil dalam produk kosmetik. Kemudian teks hasil pembacaan itu dikirimkan via WhatsApp, termasuk ke nomor sendiri. Sangat membantu mata lansia.
Memang ada sesuatu yang hilang, yakni pengalaman tekstual anak iseng seperti zaman bacaan masih terbatas. Teks Latin berbahasa asing pada kemasan produk membuat anak masa itu bertambah pengetahuan. Dari tinta rapido, anak menjadi tahu bahwa negro adalah hitam dalam bahasa Spanyol, yang bahasa Inggrisnya adalah black, dan bahasa Belandanya zwart, lalu bahasa Jermannya schwarz.
Lantas anak itu teringat Zwarte Piet alias Pit Hitam, pendamping Sinterklas, yang merupakan lambang kolonialisme. Dari Schwarz kita ingat Arnold Schwarzenegger. Nama marga Austria itu terdiri atas dua kata dengan makna sama: hitam. Seperti nama Nurcahyo, dua kata itu berarti sinar. Apalagi jika namanya Nurcahyo Suminar.
Kembali ke soal pengalaman anak iseng membaca teks asing dalam bungkus, akankah AI menjadikan orang malas belajar dalam menyerap informasi? Bagi saya tidak. Peta kognisi dan pengelolaannya dalam benak itu dari dulu rumit, batas polnya pun entah. Saya percaya manusia itu adaptif sekaligus kreatif. Adapun skeptisisme dan kritisisme memang itu bagian dari proses pembelajaran manusia.