Persoalan tukang ojek daring adalah di mana nongkrong dengan nyaman sambil menunggu pesanan. Saat panas matahari membakar, mereka harus beroleh tempat teduh. Saat hujan datang, mereka jelas lebih butuh tempat agar tak kebasahan, sehingga halte dan kolong jembatan penyeberangan menjadi pilihan. Akibatnya lalu lintas pun terganggu.
Maka tawaran sebuah warung di beranda suatu rumah ini menarik. Warung dalam Kompleks Patria Jaya, Jatirahayu, Pondokmelati, Kobek, ini menyebut diri “rest area ojol”. Ada makanan termasuk camilan, minuman, wi-fi, colokan mengecas, dan toilet.
Dalam judul saya sebut be’ol, apakah benar begitu? Itu hanya pengandaian bahwa peturasan bukan hanya untuk pipis.
Soal buang air kecil ini jelas tak mudah ditemukan di tempat lain untuk mangkal, kecuali para pengojek tak malu pipis di bawah pohon dan sudut agak tersembunyi. Tulisan “anjing & tikus silakan kencing di sini” dianggap sambutan selamat datang.
Perubahan peta bisnis layanan transportasi tak diduga oleh perencana kota. Ada hal yang tak masuk dalam hitungan yakni tempat mangkal ojek daring, yang berbeda dari tempat mangkal ojek kovensional.
Dalam hitungan juga belum memasukkan tempat mangkal taksi daring. Taksi konvensional memakai lampu mahkota, berpelat nomor kuning, sehingga ada kesepakatan di mana boleh mangkal, misalnya di superblok dan area hotel. Tetapi hal itu tak terjadi pada layanan ride hailing, yakni layanan angkutan panggilan berbasis aplikasi, macam taksi daring dan ojek daring.
Tetapi jika pemerintah kota harus memfasilitasi tempat mangkal pelaku ride hailing, agar mereka tak membuang BBM maupun setrum baterai untuk ngider menjemput bola, apa saja yang harus dihitung? Tempat parkir saja terbatas sehingga berlaku tarif resmi mahal. Niat setiap pemkot melarang pemilik mobil memarkir di jalan depan rumah tak pernah berhasil.
Soal ini rumit. Kalau dibahas di sini akan panjang, karena harus membahas ride sharing juga. Dalam perencanaan tata ruang harus menghitung mobilitas warga.