Lelucon menyambut kekalahan dua kandidat kepala daerah, untuk Pilgub Jateng dan Pilbup Tegal, keduanya diusung PDIP, itu menurut saya tak sepenuhnya tepat. Sudah bersekolah tinggi kok kalah.
Cagub Jateng Andika Perkasa sebagai orang militer telah menjalani beraneka pendidikan lanjut, antara lain di dua kampus pertahanan di Amerika Serikat. Untuk lapangan di luar ketentaraan, bermula dari S1 manajemen Universitas Terbuka, kemudian akhirnya di Universitas Harvard, Cambridge, Massachusetts, dalam National Security Fellowship di Sekolah Pemerintahan John F. Kennedy.
Setelah itu dia menamatkan S3 di Sekolah Kebijakan Publik dan Pemerintahan Trachtenberg, Universitas George Washington, Washington D.C.. Atribut Harvard lebih melekat dalam dirinya.
Sedangkan Muhammad Syaiful Mujab, Cawabup Tegal, Jateng, adalah alumnus Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, yang kemudian mengambil magister studi pembangunan di London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris.
Nama perguruan tinggi ini terlalu sakti untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang pasti nama LSE adalah jaminan kwalitet. Apalagi Mujab punya aneka jejak keren di sejumlah lembaga. Dalam Pilbup Tegal dia mendampingi Cabup Bima Eka Sakti.
Ternyata Andika dan Mujab kalah. Entah mengejek, entah menyayangkan, warganet membandingkan tingkat pendidikan dan kekalahan. Bagi saya hal itu tak relevan, karena prestasi akademis adalah satu hal dan soal pemerintahan dari sisi politik praktis adalah hal lain, apalagi jika menyangkut pilkada.
Saya menghormati pendidikan formal. Saya pun menghormati capaian akademis perorangan yang didapatkan dengan jalan pedang, melibatkan etos dan etika ilmiah.
Tetapi sebagai lelucon iseng, bolehlah. Alumnus Harvard dan alumnus LSE kok kalah. Bagi pendukung kedua orang itu, guyon tersebut sebenarnya untuk mengejek lawan: kalau cuma mau menang dengan cara kalian mestinya calon kami bisa siapa saja. Sungguh makjleb.
¬ Ilustrasi dihasilkan oleh kecerdasan artifisial