Tadi pagi sepulang dari TPS yang lokasinya di RT lain, saya bersama istri dan anak bungsu ke penjual nasi uduk, juga di RT lain. Ternyata dagangannya habis. Namun ada hal menarik di rumah seberang penjual masih uduk. Pada tiang teras rumah seberang itu ada stiker “awas anjing galak”.
Saya tertawa lalu memotret rambu itu. Tak terdengar anjing menyalak maupun menggeram karena saya yakin memang tak ada. Saya tak tahu tahu sejak kapan kedua stiker teras itu terpasang. Tak mungkin pemilik rumah memiara anjing, galak pula, karena saya tahu banget bahwa mereka bukan penyuka anjing.
Lalu iseng saya intip tetangga sebelahnya. Ternyata juga ada tempelan peringatan serupa, dengan desain berbeda. Saya yakin rumah yang ini pun tak punya anjing. Pemiliknya bukan penyuka anjing.
Saya tahu banget penghuni kedua rumah itu. Misalnya dari rekaman CCTV terlihat saya memotret rumah mereka dari pagar, mereka hanya akan tertawa, “Ngapain Pak Tyo itu.”
Peringatan awas ada anjing galak memang bisa membuat takut. Penyuka anjing saja bisa takut, padahal belum melihat si anjing, karena tabiat anjing dan agresivitasnya sangat beragam, apalagi orang yang tak suka anjing.
Peringatan awas anjing, padahal fiktif, jika sebatas gurauan yang membuat pengamen dan pembawa map sumbangan jeri, bagi saya okelah. Bagi saya juga tak ada yang salah dengan rasa takut terhadap ancaman maupun tekanan. Itu bagian dari fitrah manusia.
Maka pikiran saya pun kemudian ke “the guguk effect” dalam Pilpres 2024 dan Pilkada 2024. Di sejumlah tempat ada tekanan kepada ASN untuk mendukung paslon tertentu.
Seorang kepala desa yang dipanggil ke mapolda di ibu kota provinsi, ditanyai berjam-jam, bahkan laporan keuangan 2020 pun dipertanyakan, wajar jika merasa terintimidasi. Kenapa? Ada permintaan mendukung capres tertentu, dan sepuluh bulan kemudian mendukung cagub bahkan cabup tertentu.
Pelaku intimidasi bisa bilang dirinya tak mengancamkan sesuatu. Oh, tak beda dari Presiden Rusia Vladimir Putin berkilah tak bermaksud membuat Kanselir Jerman Angela Merkel stres dengan mengeluarkan anjing Labrador hitamnya dalam jumpa pers di Sochi, 2007 (¬ CNN, 2016).
Merkel punya trauma dengan anjing karena pernah diserang pada 1995. Bagi saya, misalnya pun bukan bekas petinggi intelijen di KGB dan angkatan darat, sebagai kepala negara pasti Putin tahu etiket, antara lain dengan mempelajari sang tamu. Mestinya jangan mengeluarkan anjing jika sang tamu takut anjing.
Sudah tahu sang tamu takut anjing tetapi tetap mengeluarkan anjing, itu tak beda dari cara aparat yang membawa nama pemimpin, pada ujung kekuasaan, maupun setelah sang pemimpin sudah kedaluwarsa tak layak konsumsi, untuk menekan orang.
Ya, tak beda dari penempel stiker awas anjing, dan bukan kesalahan orang yang terpengaruh karena pada dasarnya takut dan atau tak suka anjing, terutama yang galak.
2 Comments
“Efek asu” bikin kemenangan di Pilkada Jateng?
Lho kok gitu…