Jenaka dan nyelekit membahas bangsa dan negara sakit

Setelah media berita cetak kian terpinggirkan, kartun editorial tinggal kenangan. Tapi di medsos ada kan?

▒ Lama baca < 1 menit

Kartun kontribusi warga terhadap negara karya Mice

Lihatlah kartun karya Mice di atas. Jelas, ringkas, tangkas, bernas, dan cergas. Hanya dalam dua bingkai, kartun di Kompas Minggu (24/11/2024) mengundang tawa, setidaknya senyum, karena aktual. Ini soal kenaikan pajak pertambahan nilai dari 11 persen menjadi 12 persen, artinya persentase kenaikan mencapai 9,09 persen (¬ lihat arsip).

Halah, apa menariknya kartun di koran? Menarik bagi yang masih membaca koran. Bagi pembaca setia situs berita entahlah, karena tak semua media berita daring punya kartun yang tampil ajek.

Jika menyangkut kartun, di media sosial selalu ada. Bahan kartun berupa teks pun berlimpah, yakni komentar kocak sinis warganet terhadap suatu hal yang aktual.

Kartun Libra guru honorer

Sekarang lihatlah kartun berikutnya, karya Libra alias Rahmat Riyadi. Juga aktual dan alusif. Meski aktual, topik skandal guru honorer menurut kesan saya hanya dipahami pembaca Kompas yang mengikuti serial investigasi dalam belasan tulisan.

Salah satu temuan, untuk diangkat menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), sejumlah guru honorer di Batubara, Sumut, mesti membayar Rp30 juta, yang harus mereka dapatkan dari berutang sana-sini.

Ada saja konsumen berita yang menyalahkan Kompas, Tempo, dan media berbayar lainnya karena cara mereka berbisnis membuat liputannya kurang diketahui publik.

Bagi saya penyalahan ini tak tepat. Mestinya mereka menyalahkan media gratis yang sejahtera, mengapa tak mau membuat liputan investigatif yang menarik, berbasis data primer maupun sekunder dan temuan di lapangan.

Investigasi Kompas guru honorer

Pernah sih ada sebuah situs berita gratis, tanpa halaman bersambung menjadi dua bagian lebih, tanpa banyak iklan sembulan pengganjal mata, dengan jurnalisme data, yang setiap hari memuat infografik, komik, dan kartun, namun sayang hanya berumur empat tahun.

Pemodal menganggap biaya redaksi, apalagi dengan foto-foto bagus, jika perlu ke luar Jawa membuat foto dan video dokumentasi membawa drone, itu terlalu mahal. Biaya tak sebanding trafik dan pendapatan iklan. Juragan menganggap media itu seperti milik LSM.

Investigasi Kompas guru honorer

Karena media cetak sudah ditinggalkan, ada baiknya kita menapak tilas kartun editorial di koran dan majalah. Misalnya buku Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (Seno Gumira Ajidarma, Jakarta: KPG, 2012; xvi + 413 hlm.), dan Metafora Visual: Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950—1957 (Priyanto Sunarto, Jakarta: IKJ & Institut Humor Indonesia Kini, 2019; xii + 240 hlm.).

Buku kartun Seno Gumira Ajidarma dan Prijanto Sunarto

3 Comments

Nohirara Swadayana Senin 25 November 2024 ~ 00.08 Reply

Jadi teringat masa SMP yang rutin membaca Harian Kompas, terlebih karena senang melihat komiknya “Benny & Mice” yang terbit setiap pekan.

Pemilik Blog Senin 25 November 2024 ~ 08.51 Reply

Besok populasi kaum muda yang punya nostalgia terhadap koran akan habis.
Seperti halnya kaum opa oma sekarang gak ingat ada buku daftar logaritma karena kalkulator, dan kemudian Google, dapat menyajikannya

Tinggalkan Balasan