Bakiak, thèklèk, klompen, dan kelom geulis, jangan nyemplung got

Anda masih pakai alas kaki dari kayu, berupa bakiak maupun kelom? Entahlah apa alas kaki prajurit Jawa dulu.

▒ Lama baca 2 menit

Miniatur klompen Belanda

Tentu barang kecil ini sudah lama, setiap hari saya lihat, namun saya ingat sesuatu justru barusan. Di bengkel UKM sepatu kayu, di Belanda, tiga puluh tahun silam, saya pernah mencoba memakainya.

Aneh rasanya padahal saya memakai kaus kaki tebal. Tetapi yang penting saya sudah mencoba sepatu yang membuat saya heran waktu kecil, dari melihat pasar keju di Alkmaar dalam puzzles ratusan keping yang harus disusun sekeluarga.

Miniatur klompen Belanda

Lalu ingatan saya ke bakiak kayu yang ada di ruang lain. Warnanya sudah menggelap, dulu, tiga puluh empat tahun silam, waktu saya beli di Cipanas, Jabar, warna kayunya masih terang. Saya hanya mencoba sekali, setelah membeli, dan merasa tak nyaman antara lain pada jempol kaki dan jari sebelahnya. Masih mendingan bakiak kayu dengan palang karet, tanpa batang pendek mirip kayu kelos benang.

Bakiak kayu dari Pasar Cipanas

Saya membatin, pasti alas kaki kayu dari negeri mana pun, tak dirancang untuk perjalanan jauh. Tetapi dalam foto, geisha Jepang mengenakan sandal kayu dari rumah ke tempat kerja. Mungkin cuma adegan untuk pemotretan?

Bakiak. Thèklèk. Dalam persepsi saya sejak bocah adalah perlengkapan untuk santri. Saat saya belum sekolah, di Sinoman, Salatiga, Jateng, ada langgar di kampung belakang. Pemilik langgar dan yang lain selalu berbakiak saat berwudu dengan air dari padasan. Di rumah Bu Bidan, di DKT Cungkup, juga saya lihat hal serupa.

Bakiak dan klompen

Saya tak tahu apa model alas kaki prajurit Jawa, saat Sultan Agung dua kali menyerbu Batavia (1628,1629). Kalau bertelanjang kaki dari Bantul ke Batavia saat ini apa kuat? Pertanyaan serupa untuk prajurit era sebelumnya, katakanlah Singasari (abad XIII).

Adapun sandal dan sepatu sandal bandhol, dari karet ban, yang dulu sering dipakai pria penjual keliling, tentu ada setelah kehadiran mobil. Namun dulu waktu kecil saya sering melihat mbok-mbok bakul bertelanjang kaki.

Kuat sekali telapak kaki mereka, padahal melewati jalan beraspal dengan jarak jauh. Memang, dulu ada anak-anak sekolah bertelanjang kaki, namun mereka lebih sering melewati jalan tanah.

Bakiak atau thèklèk kecemplung kalèn

Tadi saat memotret klompen atau sandal kayu Belanda itu, tiba saya ingat kelom geulis. Kata kelom menyerap dari klompen, sandal kayu yang muncul di Belanda pada abad XIII, lalu populer hingga abad XVIII—XIX (¬ lihat: Dutch Clogs).

Dan tentu ingatan saya langsung terbang ke Jalan Cihampelas, Bandung, Jabar. Di sana ada toko kelom Keng nan legendaris. Namun belum pernah sekali pun saya masuk. Hanya membaca papan nama setiap kali lewat sana.

Menyangkut kelom geulis , saya membayangkan fesyen indis pada masa kolonial: para nyonya mengenakan kebaya berbordir ala encim, kain batik tulis, dan kelom, membawa payung kertas. Eklektik. Eksotik.

Kelom geulis nan eksotis di lokapasar Tokopedia

Perihal thèklèk, dulu ada dua parikan. Pertama: thèklèk kecemplung kalèn, tinimbang golèk aluwung balèn. Bakiak nyemplung got, ketimbang nyari pasangan pengganti lebih baik kembali ke mantan.

Kedua: berlaku di Banyumas, thèklèk nyemplung kalèn, wingi bandhèk siki klalèn. Bakiak tercebur parit, kemarin berlogat Jawa dan Sala, hari ini lupa. Bandhèk itu bahasa Jawa dalam logat di luar Banyumas yang tidak ngapak.

Tinggalkan Balasan