Seporsi sate berharga belasan jutaan rupiah

Penyebutan harga juta untuk ribu adalah ejekan rakyat untuk rupiah. Sedangkan penulisan Rp85K untuk harga makanan lebih hemat karakter dan bergaya.

▒ Lama baca < 1 menit

Sate Bang Jay JORR berharga belasan juta rupiah

Sepuluh tusuk sate kikil berharga Rp12 juta. Sedangkan untuk sepuluh tusuk sate ayam harganya Rp18 juta. Tentu warung tenda di jalan pengapit JORR di Jatiwarna, Pondokmelati, Kobek, ini hanya bercanda. Kita belum mengalami inflasi supergila sehingga semua harga menjadi seribu kali lipat.

Bagi saya, atribut harga jutaan itu hanya meneruskan gurauan lisan banyak penjual makanan. Usai kita makan dan hendak membayar dengan menanyakan harga terjumlah akan dijawab sekian juta. Pedagang keliling pun ada yang begitu.

Sate Bang Jay JORR berharga belasan juta rupiah

Saya bukan ekonom, namun menduga nilai rupiah yang belum terdenominasi ulang membuat orang meringkas angka dan kemudian mempercandakannya, dengan hasil ribuan menjadi jutaan. Pada awal 2000-an sejumlah kedai menyingkat angka tiga nol di belakang titik sebagai K, dari kilo yang artinya seribu. Jus belimbing Rp10K, dan gado-gado Rp12K.

Singkatan K untuk ribu mungkin meniru maraton. Pada 1990-an Bob Hasan yang senang lari menyelenggarakan Borobudur 10K — angkanya dibaca “tèn ké”. K setelah 10 itu jelas, mewakili kilometer. Jus belimbing Rp10K lebih ringkas daripada Rp10.000. Dalam daftar menu lebih hemat karakter, apalagi untuk seporsi makanan yang harganya di atas Rp50.000. Untuk sebotol minuman keras seharga ratusan ribu ke atas hingga jutaan akan lebih elok jika 000 pada digit terakhir diganti K.

Sate Bang Jay JORR berharga belasan juta rupiah

Sesuai konteks percakapan, penyebutan harga pun diringkas menjadi angka kepala. Menyebut “tiga setengah” untuk harga sepeda dan ponsel berarti Rp3,5 juta. Menyebut harga sepetak tanah di kampung mblusuk “tujuh belas semeter” tak akan membuat bingung karena orang tahu itu Rp17 juta per meter persegi.

Isu redenominasi rupiah sempat menjadi wacana nasional. Saya setuju jika hari ini hal itu belum menjadi prioritas. Saya membayangkan orang juga malas punya banyak uang kertas Rp5, Rp10, Rp20, dan Rp50 — yang dalam denominasi lama adalah Rp5.000, Rp10.000, Rp20.000, dan Rp50.000 — dalam dompet, padahal penggunaan e-dompet dalam ponsel kian meluas. Memang sih, dengan redenominasi kita akan kembali punya sen, tetapi berapa nanti pecahan terbontot untuk koin sen?

Tinggalkan Balasan