Alas bekas karung plastik itu tergelar di teras toko, mepet ke jalan. Ada beberapa ikat daun singkong, empat pepaya hijau, dan Likuran jambu Bangkok. Ada pula timbangan. Kebetulan pagi itu toko belum buka.
Hal macam ini sering saya lihat di sekitar Pasar Kecapi, Jatiwarna, Pondokmelati, Kobek. Yakni penjual temporer, menjual apa saja sekadarnya. Besok dan besoknya belum tentu dia menggelar dagangan.
Saya tak melakukan wawancara apalagi minta izin untuk memotretnya. Yang saya lakukan tak lebih hanya tilikan ala turis: melihat sekilas lalu memotretnya. Barangkali karena saya punya pembenaran diri, bahwa blog ini bukan laman jurnalistik. Lagi pula saya bukan wartawan.
Maka yang saya sampaikan di sini hanya kesan dan tafsir. Dalam pengandaian saya, si Abang Penjual itu menjual hasil kebunnya, atau membeli hasil kebun orang lain, lalu membawanya ke pasar. Beruntung ada sepeda motor sehingga mempermudah mobilitas.
Seberapa jauh pasar dari rumahnya saya tidak tahu. Tetapi saya mendapatkan kesan tentang sebuah babak perjuangan hidup. Kenapa saya tak membeli jambu agar dapat bercakap-cakap dengannya? Saya juga sedang berjuang. Berjalan kaki pagi hari tanpa membawa dompet, hanya ponsel.