Di balik pagar rendah itu ada lampu listrik, bukan pelita, dikerudungi. Saya menduga itu kuburan tembuni, atau ari-ari, atau plasenta. Misalnya benar begitu, beruntung rumah itu punya sisa lahan untuk mengubur.
Posisi kuburan ari-ari itu di bahu jalan, antara got depan pagar rumah dan badan jalan. Semuanya rumah di sebuah jalan raya dalam kompleks itu memang memiliki bahu jalan, banyak yang memanfaatkannya sebagai area tanaman.
Anak pertama saya lahir di Semarang, ari-arinya dikuburkan di halaman rumah mertua saya di Salatiga, Jateng. Anak kedua lahir di Jakarta, RS St. Carolus menyerahkan kendi siap kubur, saya bawa pulang ke rumah saya di Pondokgede, Bekasi, lalu ada yang menguburkan di halaman depan. Saya lupa dipasangi lampu apa, lilin ataukah teplok. Saya terlalu sibuk untuk mengurusi ari-ari karena harus mondar-mandir.
Kini saya membayangkan warga di permukiman supersesak masih dapat menguburkan ari-ari karena masih ada secuil lahan meskipun tak di rumah sendiri. Lalu bagaimana dengan warga apartemen, masa sih di taman? Saya mengandaikan warga rumah susun masih punya solusi karena, mungkin dan misalnya, ada ruang terbuka; tetapi maaf jika saya salah tolong Anda koreksi.
Saat melewati rumah yang saya foto malam itu, saya membatin di mana orang kota membeli wadah tembikar dan perlengkapan mengubur ari-ari jika rumah sakit atau bidan tak menyediakannya.
Ternyata di lokapasar tersedia. Harga mulai Rp65.000 per paket. Ada kendil berdiameter 13 cm setinggi 10 cm, mainan, garam, bumbu, dan secarik mori.
2 Comments
Kalau tidak salah ingat, pakemnya adalah jika anak laki-laki maka ari-ari dikubur di sebelah kanan pintu, sedangkan anak perempuan ari-arinya dikubur di sebelah kiri pintu.
Sebuah solusi untuk mengurangi pertanyaan dari tetangga apakah bayinya laki-laki atau perempuan.
Oh suwun, saya baru tahu.
Sebenarnya saya gak paham soal begituan, tapi kendi sudah diserahkan ke saya ya saya bawa pulang untuk disempurnakan, dan kebetulan di rumah mertua di Salatiga maupun Pondokgede ada yang melakukan.