Pada bungkus kopi tertulis untuk “cukup untuk 59 cangkir”. Saya membatin, “Tanggung amat angkanya”. Lalu saya mencari tahu berapa berat bubuk kopinya. Ternyata 380 gram. Saya berpikir, berarti takaran berat kopi per cangkir berapa gram?
Namun secara awangan saya tak langsung mendapatkan angka pas. Cuma mengira-ira. Butuh waktu lama untuk menerka 6 sampai 8 gram. Sebelum menggunakan kalkulator ponsel, saya temukan angka pada kemasan angka 6,5 gram.
Kemampuan matematis saya payah, dan nalar saya lamban, sehingga tidak membulatkan 59 cangkir menjadi 60 cangkir agar lebih lekas melakukan operasi pembagian 380:60 atau 38:6.
Saya menghibur diri, untuk prinsip penghitungan takaran kopi saya tahu, dalam hal ini pembagian, namun operasi penghitungannya saya tak tangkas. Saya punya pembenar, nilai berhitung/matematika saya dalam ijazah SD adalah 4. Namun punya nilai 10 untuk mata pelajaran lain. Kurva nilai ulangan matematika saya di SMA tajam bak gergaji: 2, 8, 4, 8, 3 — pernah dapat 9.
Saya membahas apa? Lihat video Instagram ini, pada bingkai kedua dan ketiga. Saya tak langsung menganggap si pelamar magang pabrik itu bodoh, karena bisa saja dia gugup atau tegang sehingga salah menjawab. Atau anak di itu seperti saya dulu: hanya mengerjakan tugas kalau sesuai mood. Ketika menyangkut angka jadilah petaka. Otak saya yang tak beres.
Pertanyaan pewawancara: jika sepotong besi 2 meter dibagi jadi empat, berapa panjang setiap potong?
Kalau saya yang ditanya mungkin akan menanya balik, besi dipotong jadi empat sama panjang, ataukah beda ukuran? Tetapi hal itu akan memberikan dua hasil. Pertama: saya dibentak. Kedua: saya dianggap meminta soal yang lebih merepotkan.
Satu hal yang saya hargai dari video tersebut adalah tidak menampilkan wajah si pelamar. Ini berbeda dari video unggahan guru yang menampilkan wajah para murid penjawab (¬ lihat arsip).
Lalu kenapa saya menampilkan foto ubin sebuah teras, di atas paragraf keempat di atas? Ide itu muncul setelah memotret bungkus kopi.
Amatilah lis tepi sudut bidang teras. Jika seluruh teras saya foto tampaklah bahwa setiap ubin utama di pinggir terpotong pas di tengah secara diagonal. Garis tersebut bersua lis pada keempat sisi teras yang panjangnya sama dengan garis diagonal.
Untuk memasang ubin macam itu bukanlah hal mudah karena ukuran teras sudah pasti. Masalahnya bukan ada pemotong keramik atau tidak, tetapi bagaimana menghitung ukuran potong demi estetika yang tak fungsional dari sisi kekuatan lantai.
Tak terhindarkan, cakap berhitung dibutuhkan semua bidang pekerjaan, dengan tingkat kerumitan yang beragam. Tak semua tukang telaten. Jika diberi kebebasan memilih, mereka lebih suka memasang ubin lurus tak diagonal, kemudian tinggal memotong ubin demi ubin di tepian sesuai sisa ruang.