Baru belakangan saya memperhatikan bidang latar belakang (backdrop) saat Menkomdigi Meutya Hafid memberikan keterangan pers di kementeriannya. Ada tulisan “journalist“, “chronicles“, dan “everyday lives“, namun teks yang lain tertutup kepala dan badan orang berdiri.
Ada dua catatan saya. Pertama: apakah bidang latar tersebut dirancang untuk tontonan bincang yang semua pelakunya duduk di sofa dengan bloking khas panggung — termasuk dalam pentas Srimulat era TVRI — sehingga teks akan terbaca?
Kedua: saya tidak antibahasa asing, namun mengapa Kemenkominfo dan kemudian Kemenkomdigi tak menggunakan teks berbahasa Indonesia? Memang, lembaga pemerintah dan BUMN bisa punya gelaran dengan tajuk berbahasa Inggris, tergantung kepentingan, terutama siapa sasaran komunikasinya. Namun untuk acara tetap, yakni jumpa pers, menurut saya tak perlu berkalimat panjang dalam bahasa asing.
Kalimat pada latar tersebut mungkin merujuk ini: “Journalists…chronicle our everyday lives. They reveal truths and information that the public deserves to know, and they provide a record for posterity, so that future generations can learn from our mistakes and improve upon our achievements.”
Penggalan kalimat tersebut banyak disebut dari buku Little Fires Everywhere, oleh Celeste Ng. Apa konteksnya saya tidak tahu karena belum membaca bukunya. Kalau saya tak salah, Presiden Barack Obama juga pernah mengucapkan hal serupa, cuma sepenggal.
Apakah karena di Kemenkominfo, dan kemudian Kemenkomdigi, ada bekas jurnalis? Meutya, bekas jurnalis dan angkur Metro TV, belum sebulan menjadi menteri. Pendahulunya, Budi Arie Setiadi, adalah bekas wartawan Media Indonesia dan Kontan. Sang wamen, Nezar Patria, pernah di majalah Tempo setelah diculik anak buah Prabowo, dan terakhir jadi pemred The Jakarta Post.
Soal bekdrop, sebut saja begitu, cara polisi kadang lebih jelas. Dengan hasil cetak digital besar, tulisan terbaca jelas, karena sudah diperhitungkan siapa yang duduk dan siapa yang berdiri, misalnya juru bahasa isyarat.
Dalam wadah gambar saya ada foto koran Kompas memuat berita KPU Surabaya, September lalu. Bekdrop tertutup sofa. Padahal niat pembuatan bekdrop tentu untuk memudahkan dokumentasi karena memuat keterangan waktu: 2024.
Saat itu saya akan menjadikannya sebagai pos di blog ini, namun terlupa atau apa entahlah, pokoknya batal. Intinya, pembuatan bekdrop KPU itu seperti tujuh belasan dan halalbilhalal RT: sepenuh bidang, sehingga akan tertutupi penampil di atas pentas, apalagi jika jumlahnya lima orang lebih.
Bagi pemesan bekdrop, ukuran huruf dan lainnya tak memengaruhi biaya cetak digital. Abad lalu, ketika teks dekorasi acara dibuat dengan kertas dibentuk sebagai huruf, ukuran dan jumlah huruf menentukan tingkat kelelahan dekorator. Waktu saya SMP dan SMA sering melakukan itu.
Lalu bekdrop yang bagus itu, selain banyak dicontohkan oleh foto di media dan tayangan di media sosial dengan layar elektronik gigantis, yang macam apa?
Untuk foto orang berpose, tengoklah cara belakang panggung di Academy Awards, Grammy Awards, dan lainnya: kecil, berulang, menyebar secara terpola — seamless. Terlampir foto Coco Jones dalam Grammy 2024 dari. Cara serupa juga diterapkan dalam bekdrop pada karpet merah kedatangan.
¬ Foto: Radio Purwakarta, Getty Images