Tiga lansia di taman dan kesimpulan sesat

Kita sering salah menyimpulkan hanya berdasarkan sampel kasus yang tak representatif.

▒ Lama baca < 1 menit

Tiga orang lansia di taman

Tadi pagi pukul tujuh seperempat, saya lihat ada tiga lansia di Taman Lansia yang kemarin saya ceritakan. Entah kenapa saya lega, senang, padahal tak mengenal mereka. Tetapi saya pun tidak menghampiri mereka untuk memperkenalkan diri.

Ketika memotret huruf tiga dimensi sebagai latar depan mereka, saya mengangguk takzim, mengatupkan kedua tangan di dada, sebagai ucapan permisi dan terima kasih.

Dalam cerita kemarin saya tak berkesimpulan bahwa taman itu selalu sepi dari lansia, kaum yang mendapatkan persembahan dari Lembaga Lanjutusia Indonesia. Namun sambil berjalan saya tersenyum sendirian karena mengingat cara Kangmas saya menyimpulkan sesuatu untuk bercanda.

Pada semester pertama saya kuliah di Yogyakarta, teman SMA saya yang juga kuliah di kota yang sama, bertandang ke rumah. Kangmas saya menanya dia, indekos di mana. Dia jawab, di perumahan PJKA, Lempuyangan, dekat stasiun.

Tiga orang lansia di taman

Saat itu Lempuyangan belum difungsikan untuk stasiun penumpang. Pertigaan di sana belum ramai, motor juga masih sedikit. Lalu Kangmas menanggapi, “Oh, kamu di rumah depan pertigaan yang sering ada tabrakan itu ya?”

Teman saya bingung. Lantas Kangmas bilang, “Aku baru lewat sekali saja ada motor tabrakan. Kalau aku sering lewat sana pasti lebih sering ada tabrakan.”

Teman saya makin bingung. Setelah berpikir sejenak dia tertawa. Tetapi tak mungkin mereka bersua lagi di dunia. Keduanya sudah almarhum. Kangmas berpulang pada 2008, dan teman saya, namanya Gandhi, meninggal 2023.

Tinggalkan Balasan