Lebih dari sekali koran Kompas pada edisi yang sama memuat iklan paslon Pilgub Jakarta. Saya tak tahu siapa yang memesan ruang, KPU Jakarta ataukah pihak lain.
Iklan selebar empat kolom, dengan posisi sama di bagian kanan bawah pada halaman yang berbeda, berisi tema sentral dalam janji kampanye setiap paslon.
Tentu kemasan pesan setiap paslon berbeda. Ridwan Kamil dan Suswono menampilkan profil ringkas apa dan siapa mereka. Demikian pula paslon independen Dharma Pongrekun dan Wardana. Semuanya disertai tempat dan tanggal bulan tahun kelahiran.
Sedangkan iklan paslon Pramono Anung dan Rano Karno tak menyertakan biodata ringkas, padahal pada awal pencalonan ada lelucon tentang mereka: Jakarta tahu siapa Rano, tetapi Jakarta mana tahu siapa Pramono.
Sejauh ini mesin politik Pram-Doel bekerja giat, antara lain dengan tak menyertakan atribut PDIP dalam materi kampanye visual. Salah satu tujuan: mengambil suara dari pendukung Anies Baswedan. Maka Guruh Tirta Lunggana, putra tokoh Betawi Haji Lulung, pun dilibatkan.
Sejauh saya mencari tahu tak ada ketiga iklan di atas dalam Pos Kota. Namun di koran Warta Kota, sesama city paper, iklan itu ada. Anda tahu bahwa Warta Kota, bagian dari grup Tribun, bernaung di bawah Kompas Gramedia.
Entahlah apakah di koran-koran Tribun dan grup koran daerah lainnya, meskipun hanya e-paper, iklan paslon lokal dalam Pilkada 2024 juga ada. Namun lebih utama soal ini: apakah iklan paslon di koran, display maupun advertorial, siapa pun pemasangnya, masih menarik? Kita tahu jumlah pembayaran koran terus menyusut. Anda pun mungkin sudah tiga tahun tak membahas koran.
Kalau iklan berupa spanduk (banner) dalam situs dan aplikasi berita saya andaikan masih diperhatikan, setidaknya dilihat sekilas. Serupa nasib poster kampanye di tiang listrik dan pohon —padahal pohon tidak boleh dipaku.
Mungkin materi kampanye dalam bentuk apa pun via WhatsApp malah lebih efektif, melengkapi kampanye tatap muka dan gerakan kelompok jurkam masing-masing paslon.