“Waktu di kasir, gue bilang mau bayar cash, tapi sama mbaknya dibilang boleh cash, asal uang pas, soalnya enggak ada atau enggak nyiapin uang kembalian. Akhirnya, terpaksa pakai QRIS. Padahal, di akun rekening utama itu lagi enggak ada saldo, maklum akhir bulan. Ujung-ujungnya terpaksa pakai QRIS dari bank digital yang selama ini buat tabungan.”
¬ Sakti Darma (24), pekerja swasta di Jakarta, tentang pengalamannya membeli kacamata.
“Karena SOP (prosedur standar operasi) dari pusat hanya menerima pembayaran QRIS, jadi memang hanya menyediakan QRIS dan mesin EDC. Sebagai penjual, mau tidak mau, harus mengakali dengan nerima uang tunai dari pembeli, kemudian baru ditransfer, dari rekening sendiri ke rekening toko.”
¬ Ignasius Tegar (25), peracik kopi di Yogyakarta, tentang kebijakan kedai tempat dia bekerja.
“Walaupun Bank Indonesia mendorong digitalisasi, kita wajib, merchant itu menerima uang rupiah, uang rupiah dalam bentuk fisik. Ini sekali lagi saya tegaskan, karena memang berkali-kali pertanyaan yang sama.”
¬ Deputi Gubernur BI Doni Primanto Juwono tentang pembayaran secara tunai dalam jual beli.
“Kalau misalnya kejadian bagaimana? Dicatat dan dilaporkan kepada PJP-nya, karena itu akan ada sanksi, dari penghentian kerja sama, bahkan pedagang akan dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist).”
¬ Deputi Gubernur BI Filianingsih tentang pedagang ultramikro yang meminta biaya tambahan untuk transaksi di bawah Rp500.000. PJP adalah penyedia jasa pembayaran yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23 Tahun 2021.
¬ Semua kutipan dari Kompas, “Tunai Vs Nontunai, Anda Pilih yang Mana?”