Meskipun kemampuan berhitung saya buruk nian — dalam ijazah SD nilai berhitung dan matematika saya 4 — saya tak tega menyaksikan video di Instagram tentang kemampuan numerik dasar sejumlah siswa kelas 12 sebuah SMA entah di mana. Ada saja yang salah menjawab.
Saya tak tega karena dua hal. Pertama: saya berasumsi anak setingkat itu mestinya jangan seperti saya sekarang, yang lamban dalam menyelesaikan operasi penghitungan, padahal itu dasar untuk memahami nalar matematis.
Kedua: saya tak tega wajah mereka tersebar dalam video di Instagram. Bukan soal video sudah lama munculnya atau baru hari ini tertayangkan ulang oleh akun lain, namun bagi saya video yang berkemungkinan berasal dari seorang guru, kemudian entah siapa yang mengunggahkannya ke media sosial, itu tidak edukatif.
Saya menerka mayoritas anak-anak itu masih di bawah umur, belum 18 tahun. Tidak sepatutnya pengunggah video membiarkan wajah dan ekspresi mereka tampak jelas.
Lho bukannya anak-anak itu riang, berarti mereka tak malu? Hmmm… bagaimanapun mereka masih punya hari depan, mereka juga punya privasi yang harus dilindungi, masih dalam asuhan orangtua, dan orangtua mereka berhak memprotes penayangan video anaknya berhitung yang menjadi tertawaan.
Lalu apa bedanya dengan video lucu karyawan berbaris satu per satu untuk menjawab pertanyaan seputar bahasa dan pengetahuan umum?
Berbeda. Video karyawan dibuat dengan sadar, dan atas kesepakatan bersama, boleh disiarkan di media sosial untuk hiburan. Siapa yang bilang? Saya, berdasarkan pengandaian karena mereka tampak biasa, cengar-cengir, dan mereka sadar kalau direkam kamera dengan terang-terangan, bukan secara diam-diam.
Dalam usia mereka, dan karena lingkungan kerjanya serta pergaulannya, setelah video muncul di Instagram atau TikTok pasti mereka tahu. Jika ada orang yang berkeberatan pasti memprotes pengunggah maupun pengelola platform — atau malah mengajak berkelahi pengunggah.
Memang, dunia pendidikan kita kusut akut, namun tak berarti untuk mengkritik kemelut itu kita boleh mengorbankan anak-anak yang menjadi peserta didik. Apalagi kalau hanya demi konten.
¬ Foto-foto dari tangkapan layar kemudian saya sensor, saya sengaja tak menyertakan tautan