Bersilaju di bahu jalan tol adalah potret kita

Pelanggar bahu jalan tol pasti malu mengakui kalau mereka melanggar adab. Semoga petaka awak TV One tak terulang.

▒ Lama baca 2 menit

Pelanggar bahu jalan tol pasti malu mengakui kalau mereka melanggar adab

Jangan-jangan kalau soal pelanggaran lalu lintas diseminarkan, pembahasannya akan singkat karena sumber masalah sudah dipahami bersama. Empat sesi selesai dalam 30 menit.

Tetapi bisa juga pembahasannya lama, bahkan molor sampai semua lupa bahwa petugas katering sudah tertidur, jemu menunggu peserta seminar mengantre makan siang.

Seminar bisa singkat karena pokok masalah, tanpa solusi, sudah jelas: penegakan hukum payah, rakyat merasa tak ada kepastian hukum.

Maka hasilnya adalah mobil melintas di bahu jalan, motor melawan arah, dan seterusnya. Solusinya sulit karena mensyaratkan pembongkaran sosial. Semua orang yang berposisi pemimpin harus tegas dan memberi contoh siap ditindak.

Seminar akan terulur lama karena semua peserta bergiliran curhat, dan moderator serta penyaji materi terbawa suasana. Padahal aneka kasus yang mereka curhatkan intinya satu: sebenarnya masing-masing orang ingin taat aturan lalu lintas, tetapi anu anu anu dong deh sih…

Saya belum tahu apakah pernah ada survei bagi pelanggar bahu jalan dan lampu merah, saat mereka melakukan itu membawa keluarga, terutama anak, atau tidak.

Cara menyetir seorang anak, dari keluarga yang punya mobil, biasanya mencontoh orangtuanya. Dari memanaskan mesin mobil, memeriksa reservoir radiator, air wiper, sampai menggerakkan mobil setelah lampu indikator di dasbor padam semua.

Bahkan pada awal 2000-an, ketika belum semua mobil menerapkan lampu interior yang menyala dan padam sendiri, sebagian orang sebagai pengemudi maupun penumpang langsung mematikan lampu begitu pintu ditutup. Itu karena kebiasaan yang didapatkan dari belajar yakni meniru kelaziman mobil edisi lama. Namun dalam kasus ini tak membahayakan siapa pun.

Lalu anak melihat bagaimana orangtuanya menjalankan mobil, termasuk saat menyalip, berhenti dan maju di lampu merah, hingga parkir.

Saya pernah bercerita di blog ini, seorang bocah menangis saat naik mobil tetangga yang ikut aturan karena ayahnya selalu melawan arus di jalan dekat rumah. Menurut anak itu, yang benar adalah rute ayahnya pulang dan pergi.

Dia ketakutan si Oma Tetangga akan menuju entah ke mana karena menempuh rute salah, yang tak dia kenal, padahal perbedaan lokasi jalan hanya di kanan dan kiri jalan tol JORR. Rute tetap si ayah diketahui Oma Tetangga itu dari oma si anak yang menyertai cucu.

Untuk motor juga sama, ada urutan saat akan menghidupkan mesin hingga tiba di tujuan, dengan selingan apakah selama perjalanan melawan arus atau tidak, bersedia menurunkan kaki untuk berhenti atau tidak.

Pelanggar bahu jalan tol pasti malu mengakui kalau mereka melanggar adab

Lalu tanyailah para pelanggar bahu jalan, dari siapa mereka meniru. Belum tentu dari orangtua sih. Bisa dari mana saja, terutama di jalan raya. Kalau ditanya apakah mereka tahu bahwa memasuki bahu jalan tol itu melanggar hukum pasti semua tahu.

Lalu tanyakanlah dalam survei, apakah jika di luar negeri yang tertib mereka juga meneruskan cara berlalu lintas ala Indonesia?

Terhadap pertanyaan terakhir tadi Anda sudah menduga jawabannya yang seolah sesuai pepatah. Di mana langit dipijak di situ langit dijunjung. Di kandang kambing mengembik, di kandang harimau mengaum. Kearifan sosial menemukan pemaknaan baru untuk berapologi.

Kelak, dalam perayaan Indonesia Emas pada 2045, apakah kepastian hukum di republik ini sudah genah, sehingga cucu Anda bisa merasa sama beradabnya dengan negeri maju semacam Jepang?

Dukacita saya untuk awak TV One yang mobilnya saat berhenti di bahu jalan tol diseruduk truk.

¬ Infografik: Indonesia Baik

Tinggalkan Balasan