Lama saya tak mendapati anak-anak bermain badminton di jalan. Bahkan saat libur tahun ajaran baru kemarin juga tak melihat. Namun sedang libur atau tidak, setelah Indonesia memenangi pertandingan badminton internasional biasanya selalu muncul demam dadakan, sekitar seminggu.
Demam dadakan yang saya maksudkan adalah anak-anak bermain bulu tangkis di jalan yang sedang sepi, bisa pagi, sore, bahkan malam karena euforia Indonesia menjadi juara. Jalan umum menjadi pilihan karena halaman rumah makin sempit. Namun di luar euforia, sebelum pandemi saya masih melihat anak-anak bermain badminton di jalan, tanpa net, tanpa garis.
Dua lapangan badminton milik RT yang berbeda di area saya tak terpakai. Salah satu lapangan memanfaatkan jalan yang sepi, ada garis dan tiang, bahkan dulu ada kursi wasitnya.
Saya bukan pengamat olahraga. Jadi bisa saja kesan saya tentang kelangkaan anak badminton di jalan itu salah. Namun saya tahu, gairah badminton masih hidup. Badminton di ruang tertutup, yang disewakan, masih laku. Orang muda hingga lansia yang suka badminton masih rajin bermain secara terjadwal.
Tadi, pukul sembilan malam kurang seperempat, saya mendapati suami istri pemilik warung sembako sedang bermain bulu tangkis di jalan depan warungnya. Kebetulan jalan itu sedang sepi. Misalnya ada motor atau mobil lewat mereka berhenti bermain.
“Iseng aja, Pak,” kata si suami ketika saya permisi untuk lewat. Saya belum pernah melihat mereka bermain badminton padahal saya kerap lewat warung itu. Kok dalam foto saya lingkari.
Misalnya kesan saya benar, kini tak ada lagi anak bermain bulu tangkis di jalan, apakah hal ini disebabkan oleh ponsel yang lebih menarik, cocok untuk anak mager, dan diawali oleh Covid-19?